Orang yang pesimis seringkali diposisikan kurang baik dibanding mereka yang
optimis. Itulah pandangan umum yang beredar di publik saat ini. Namun, dalam
hal manajerial, pendapat itu kurang tepat. Kita tidak bisa menghakimi bahwa
yang optimis lebih baik dari pesimis atau sebaliknya. Masing-masing sebenarnya
memiliki kelebihan dan kekurangan.
Sang optimis seringkali memandang sebuah masalah dari sudut yang berbeda
dengan sang pesimis. Sang optimis ketika disodori gelas berisi air separo
misalnya, ia akan berpikiran bahwa "isi gelas separo PENUH".
Sebaliknya, sang pesimis memandang "isi gelas separo KOSONG". Optimis
melihat benefit, baru cost. Pesimis sebaliknya. Optimis melihat opportunity,
baru risiko. Pesimis sebaliknya.
Tak heran bila masing-masing karakter ini melahirkan ejekan-ejekan khas.
Ini contoh ejekan-ejekan bagi orang-orang pesimis:
- An optimist laughs to forget. A pessimist forgets to laugh.
- Always borrow money from a pessimist, he doesn't expect to be paid back.
- A pessimist is a man who looks both ways before crossing a one-way street.
- Yang optimis pun tak luput dari ejekan-ejekan. Misalnya seperti ini:
- It doesn't hurt to be optimistic, you can always cry later
- Optimists are nostalgic about the future.
- An optimist is a guy who has never had much experience.
Orang-orang yang optimis adalah mereka yang kalau ditagih selalu menjawab
dengan mantap, “Besok utangmu lunas.” Besoknya ditanya lagi, jawabannya sama.
Maka banyak yang menyarankan: jangan memberi hutang kepada orang-orang optimis.
Saran kedua: jangan memberi kerjaan pada orang-orang optimis. Sebab, setiap
kali ditanya apakah bisa mengerjakan, jawabannya: BISA. Ketika ternyata tidak
bisa, ia akan bilang dengan optimis, “Besok bisa.”
Secara sederhana, ada orang-orang yang cenderung optimis -selanjutnya kita
namakan SP, ada pula yang pesimistik -SJ. Selama saya berkarir di banyak
perusahaan dan membaca banyak riset, saya menemukan komposisi yang seperti ini:
- level manajemen trainee merata: 40% SP, 40% SJ, 20% tipe lain
- level manajemen muda 30% SP, 52% SJ, 18% tipe lain
- level manajemen menengah 20% SP, 65% SJ, 15% tipe lain
- level manajemen senior 15% SP, 73% SJ, 12% tipe lain
- level eksekutif puncak 10% SP, 80% SJ, 10% tipe lain
Angka-angka di atas hanyalah perkiraan, sekedar gambaran. Semakin ke anak
tangga atas manajemen, semakin didominasi orang-orang yang berpembawaan
pesimis. Apakah lantas kita bisa menyimpulkan bahwa yang pesimis berbakat di
manajemen? Bukan begitu. Saya mengartikan, 5-8 dari 10 opsir-opsir korporasi
berpembawaan pesimistik. Nuansa manajemen adalah pesimistik. Nuansa pesimistik
ini tidak begitu pekat pada level pekerja papan bawah. Di level ini tipe-tipe yang
ada terdistribusi merata.
Manajemen memang bersifat pesimis seperti itu. Asumsi dasar perbankan
misalnya, adalah pesimistik, yakni utang dikemplang. Maka, mereka memakai
berbagai cara agar itu tidak terjadi, misalnya dengan agunan, notaris dan
perangkat pengamanan lain. Perangkat-perangkat pesimistik sangat mendominasi
manajemen. Semisal kontrak, perjanjian kerja, birokrasi, jaminan keselamatan
dan berbagai upaya kontrol.
Optimisme yang umumnya dipersepsikan sebagai 'baik' sebenarnya bisa positif
bisa negatif. Optimis yang negatif adalah bentuk-bentuk meremehkan,
menyepelekan, sembrono, ugal-ugalan, menggampangkan, ceroboh, besar pasak
daripada tiang, serampangan dan tidak serius.
Selaku atasan, baik sebagai eksekutif atau pemilik, saya tidak menyukai jenis
optimis yang begini. Bukan hanya saya, rata-rata yang setara dengan saya, baik
sejawat lokal maupun internasional, memiliki ketidaksukaan yang sama terhadap
jenis pekerja yang optimistik negatif.
Contoh orang pesimis: sebenarnya bisa tapi bilang tidak bisa. Contoh orang
optimis: sebenarnya tidak bisa tapi bilang bisa.
Dua-duanya kurang disukai. Yang pesimis perlu di-"tendang" baru
jalan. Kalau tendangannya sekali dua kali memang tidak masalah, namun kalau
terus-terusan pasti membuat frustrasi atasan. Optimis juga menjengkelken karena
omongnya 'bisa, bisa, bisa', tapi gagal melulu. Sudah gagal tidak merasa kalau
gagal, masih optimis 'bisa, bisa, bisa'. Di sini kita lihat, optimis maupun
pesimis negatif sama-sama bikin bludreg.
Jika Anda menjadi atasan, Anda akan merasakan geramnya memiliki staf yang
seperti itu. Ketika Anda masih pada level manajemen muda, Anda akan berhadapan
dengan jenis optimis yang 'bisa, bisa melulu' tadi dan yang selalu bilang
'tidak bisa' hampir sama banyaknya. Semakin tinggi level manajemen Anda, yang pesimis
semakin banyak. Jika Anda menjadi atasan, Anda perlu belajar seni 'nuthuk'.
Terutama untuk mereka yang pesimistik.
"Tendangan" tidak selalu harus dengan hardikan dan bentakan tapi
kadang dengan memotivasi, bujukan, insentif, dan sejenisnya. Tapi, kalau ada
yang tanya, kapan harus membentak, kapan saat membujuk, saya kelimpungan
menjawabnya. Sebagian dari ilmu nendang atau "nuthuk" harus
dipelajari di lapangan.
Memang benar bahwa optimisme menumbuhkan semangat, motivasi, mendorong dan
akhirnya menggerakkan. Tapi, keliru kalau menyimpulkan bahwa pesimisme selalu
menghambat. Pesimisme pun bisa menjadi daya dorong yang tidak kalah kuatnya.
Seseorang yang pesimis, yang senantiasa dirundung kekhawatiran di-PHK, bisa
bereaksi positif dengan bekerja sebaik-baiknya.
Are you a pesimist? No worry, it could be a good news. Good luck.
Are you an optimist? It could be a good news, too. Good luck.
Either pesimist or optimist, it should be good news.
Dalam banyak hal mereka komplementer, saling mengisi. Yang satu 'gas'
satunya 'rem'. Maka, sarannya sederhana. Jika Anda pesimistik, bergaulah dengan
si optimistik dan sebaliknya. Maka akan terjadi proses. Timbul
pertanyaan, kalau tipe pesimistik merangkak ke papan atas manajemen, si optimis
ke mana? Where the heck are they doing? S. Brotosumarto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar