Pengertian Talent Management
Talent management merupakan sebuah proses untuk
mengidentifikasi para karyawan perusahaan yang memiliki kapabilitas untuk
menjadi future leaders/senior managers. Proses identifikasi ini didasarkan pada
dua elemen kunci, yakni aspek kompetensi dan aspek kinerja (performance). Dalam
hal ini, kompetensi dapat diibaratkan sebagai input yang melekat pada
seseorang, dan yang akan membekali dia untuk melakukan tugasnya dengan baik;
sementara aspek performance (kinerja) merupakan hasil nyata (output) dari suatu
pekerjaan. Idealnya, kompetensi dan kinerja (hasil) menjadi dua hal yang
berkorelasi positif. Artinya, jika Anda memiliki kompetensi tinggi, maka hasil
dan target pekerjaan juga dapat dicapai dengan baik. Namun kadang tidak selalu
demikian. Misalnya, orang sales sudah memenuhi semua kompetensi yang
dibutuhkan, namun karena mendadak ada peristiwa bencana alam (yang di luar
kontrol dia), maka target penjualannya tidak bisa tercapai. Sebaliknya, bisa
terjadi orang sales yang kompetensinya jelek (misalnya main serobot pelanggan teman,
atau memakai uang suap kepada calon pelanggan) justru bisa menjual dengan
sangat bagus (dan target pekerjaan bisa tercapai).
Karena itulah untuk menilai
kualitas karyawan, Anda sebaiknya mengacu pada dua elemen di atas sekaligus,
yakni aspek kompetensi (input) dan aspek kinerja (hasil). Nah, dengan matriks
kompetensi dan performance inilah, kita menilai kapasitas karyawan, termasuk
untuk keperluan talent management process. Calon bintang yang dipilih idealnya
mereka yang memiliki kompetensi tinggi dan sekaligus kinerja (memberi hasil)
yang baik; atau mereka yang memiliki kompetensi bagus, namun kinerjanya saat
ini belum berkembang secara optimal (orang seperti ini dapat dipilih karena dia
pada dasarnya memiliki kompetensi yang solid, dan karena itu bisa terus
dikembangkan untuk menjadi future stars). Dari penjelasan di atas, sebenarnya
tidak ada yang perlu dipertentangkan antara kompetensi dengan talent
management. Dalam hal ini, kompetensi merupakan satu elemen penting –selain
aspek kinerja– dalam mengidentifikasi dan mengembangkan talenta karyawan menuju
prestasi yang paling optimal.
Calon
Talenta
Karyawan yang berkompetensi tinggi dan kinerja yang
baik.
Atau Memiliki kompetensi bagus namun kinerjanya
belum berkembang secara optimal.
Talent Pool Management pada Bank Mandiri
Dalam upaya Bank Mandiri untuk menjaga dan
mengembangkan para top talent untuk berkontribusi lebih maksimal dan tidak
pindah ke organisasi lain, maka dilakukan talent pool management melalui
upaya-upaya sebagai berikut:
Mengidentifikasi dan menyelenggarakan program
akselerasi kepada pegawai dengan kinerja baik dan potensial dari level Officer
hingga Group Head.
Memberikan program pengembangan khusus kepada para
talent berupa penempatan pada posisi menantang, special project assignment,
program sertifikasi serta special training & development program.
Talent Pool Management pada BCA
Guna mengoptumalkan kompetisi dan kinerja BCA,
secara konsisten telah dikembangkan program-program pelatihan di berbagai
bidang perbankan. Program-program pelatihan ini diklarisifikasi menjadi dua
kelompok besar yaitu:
Program pelatihan utama yang meliputi pengembangan
ketrampilan dan pengetahuan perbankan.
Program pengembangan profesionalisme yang mencakup
pengembangan kompetensi dan fungsi pelayanan, serta pelatihan ketrampilan
manajerial.
cara
membangun Talent Pool
Banyak organisasi berusaha menerapkan Talent
Management yang diyakini dapat mewujudkan sukses yang berkesinambungan. Istilah
talent mengandung aspek yang dikaitkan dengan evaluasi berdasarkan kesanggupan
atau kompetensi seseorang. Hal penting lainnya adalah adanya prinsip
pengembangan. Landasan pemikiran yang perlu dipahami dalam talent pool atau
talent management berkaitan dengan tujuan strategis organisasi untuk menjamin
kesinambungan kesuksesan organisasi dalam jangka panjang. Sehingga organisasi
kemudian mengidentifikasi kemampuan apa yang penting untuk mendukung
keberhasilan organisasi secara jangka panjang. Kemudian, dilihat posisi-posisi
apa yang kritikal dalam organisasi yang dituntut untuk memiliki kemampuan atau
kompetensi yang penting tersebut. Posisi kritikal tersebut kemudian harus
didefinisikan dengan jelas peran dan tanggung jawabnya, hasil kinerja yang
diharapkan dan kompetensi yang diperlukan untuk itu semua. Dengan kata lain,
posisi kritikal akan menjadi future leadership positions bagi keberhasilan
organisasi. Setelah potret ideal yang diharapkan agar dapat sukses itu jelas
didefinisikan, maka selanjutnya organisasi mengidentifikasi orang-orang yang
potensial untuk dikembangkan mengemban peran dan tanggung jawab posisi kritikal
tadi. Di sinilah prinsip evaluasi kesangggupan atau kompetensi diterapkan.
Organisasi dapat membuat matriks evaluasi dengan meng-assess potensi ke depan
dan kinerja masa lalu dari setiap calon. Dari matriks ini kemudian dapat dibuat
seleksi calon atau talent mana yang akan masuk ke dalam talent pool berdasarkan
kriteria tertentu.
Kebutuhan akan posisi-posisi kritikal dapat dibuat
berjenjang untuk memastikan rantai pasokan dari suatu level ke level yang lebih
tinggi dalam organisasi dapat berjalan lancar dan berkesinambungan, sehingga
tidak akan terjadi putusnya kader pemimpin yang akan membawa keberhasilan
organisasi. Pipa saluran kepemimpinan ini dapat dibuat mulai dari level entry
manager atau individual contributor/specialist, middle manager atau key technical
expert, key executives/directors, sampai dengan pucuk pimpinan atau CEO.
Dalam proses pengembangan dan penyiapan talent
tersebut, perlu juga dibuat kriteria seleksi untuk mengevaluasi secara periodik
apakah sang calon masih layak berada dalam talent pool atau harus keluar. Ini
untuk memelihara situasi kondusif kompetisi dan rangsangan kinerja, dan
mengeliminasi calon yang kinerja dan potensinya menurun dalam perjalanan. Ini
juga dapat merangsang orang-orang yang tadinya di luar talent pool untuk mempunyai
peluang masuk ke talent pool jika dia memenuhi kriteria.
Proses berikutnya yang penting adalah menyusun dan
menyiapkan program pengembangan khusus bagi calon pemimpin masa depan yang ada
dalam talent pool tersebut. Program ini harus dirancang secara khusus, tidak
hanya sekedar program pelatihan tradisional, tapi juga mencakup hal-hal praktis
yang dapat secara langsung memberikan dampak peningkatan skills dan pembentukan
behaviours yang diharapkan. Program seperti shadowing, project assignment, innovation
contest dan piloting dapat diterapkan untuk mengasah kompetensi sang calon.
Jangka waktu program ini harus disesuaikan dengan timing kebutuhan pengisian
posisi-posisi kritikal yang ada dalam talent pipeline. Sehingga mungkin saja
ada yang perlu dilakukan dengan program fast track, agar kesinambungan
kepemimpinan yang handal di dalam organisasi terjaga dengan baik.
Akhirnya, perlu juga diperhatikan untuk melakukan
evaluasi dari hasil pengembangan talent pool dengan mengukur dampak program
talent management yang ada tersebut terhadap hasil akhir organisasi. Jikalau
tidak meningkatkan hasil akhir organisasi, maka sudah pasti penerapan talent
management tersebut perlu dirancang ulang agar dapat memberikan high impact
bagi organisasi.
Diskriminasi
Diperlukan dalam Talent Management
Perbincangan mengenai pengembangan mutu SDM kini
tengah disemarakkan dengan gagasan mengenai talent management. Esensi dasar
dari gagasan ini adalah bagiamana sebuah organisasi mesti mampu secara konstan
merekrut, mengembangkan, dan kemudian mempertahankan barisan SDM yang
bertalenta tinggi serta berkinerja unggul.
Barisan SDM dengan talenta unggul yang menduduki
strategic positions pada akhirnya memang merupakan life blood dari sebuah
organisasi bisnis. Disini kita mungkin perlu menyimak sebuah ungkapan dari
paman Bill Gates. Begini ia pernah berujar : silakan ambil 25 eksekutif kunci
dengan talenta unggul dari perusahaan kami, dan dalam waktu tak berapa lama
Microsoft akan langsung roboh.
Pertanyaanya kini adalah : lalu strategi terbaik
apa yang mesti dilakoni untuk mampu mengembangkan talent management secara
kokoh? Dalam kaitannya dengan hal ini, saya mencoba memetakan dua catatan
filosofis yang layak digenggam manakala kita hendak merajut strategi talent
management secara optimal.
Catatan yang pertama adalah ini : serangkaian studi
empirik menunjukkan bahwa kehebatan sebuah organisasi bisnis sangat ditentukan
oleh hanya 30 % karyawannya, terutama mereka yang menduduki posisi
strategic/core positions. Ilustrasinya sederhana : bagi sebuah warung makan,
posisi seorang koki adalah posisi yang amat vital; dan bukan kasir atau
pramusaji atau bagian purchasing. Demikian pula bagi Microsoft, posisi yang
amat penting adalah barisan programmer, bukan mereka yang duduk di bagian
finansial, warehouse, ataupun bagian customer service.
Implikasinya jelas : untuk mereka yang menduduki
posisi core, maka kita harus mati-matian mendapatkan talenta kelas dunia. Namun
bagi mereka yang tidak menduduki posisi core, kita cukup mendapatkan pekerja
yang standard saja, tidak perlu bagus-bagus amat. Alasannya sederhana : seorang
pramusaji dengan talenta kelas dunia tak akan memberikan impak yang signifikan
bagi kemajuan sebuah rumah makan. Demikian juga, seorang finance manager yang
super sekalipun tidak akan memberikan dampak yang berarti bagi maju mundurnya
Micorosft. Karena itulah, untuk posisi-posisi non-core ini kita cukup
memelihara karyawan yang memenuhi standard kualifikasi saja – tidak perlu
berambisi merekrut yang terbaik. Sebab efek diferensiasi dari posisi-posisi non
core terhadap level kinerja perusahaan tidak banyak.
Sebaliknya, untuk mereka yang menduduki posisi core
atau strategis, maka kita mesti bertarung mati-matian untuk mendapatkan talenta
super. Sebab dalam posisi ini, perbedaan kinerja antara level standar dengan
level superior akan memberikan dampak yang sangat signifikan bagi kemajuan
perusahaan. Seorang koki dengan kualifikasi standar mungkin akan membuat rumah
makan kita bisa terus eksis, namun kalau kita bisa merebut koki dengan
kualifikasi kelas dunia, pasti rumah makan kita akan kebanjiran pelanggan.
Fakta diatas membawa kita kepada catatan penting
kedua : perusahaan mesti mengalokasikan sumber daya waktu dan energi yang lebih
besar (mungkin hingga 80%) untuk mengelola dan memelihara mereka yang duduk
dalam posisi kunci (strategic positions); dan sisanya untuk mengelola para
non-core employees. Nah, disinilah suka muncul masalah. Sering dengan alasan
pemerataan, sebuah perusahaan memperlakukan semua karyawan dengan prioritas
yang sama : semua mendapatkan porsi pelatihan yang sama, besaran bonus yang
sama, dan kenaikan gaji yang sama.
Gaya manajemen a la sosialisme itu kelihatannya
indah, namun dalam jangka panjang tidak akan pernah mampu membawa kita menuju
kinerja puncak (gaya seperti ini mungkin lebih cocok untuk negeri Uni Soviet
pada tahun 70-an dulu). Sebaliknya, kita mesti mengalokasikan sumber daya yang
berbeda antara karyawan core dan non-core. Untuk karyawan non core kita cukup
mengalokasikan sumber daya pengembangan yang standard saja (ya, secukupnya
sajalah….). Namun untuk core employees yang bersifat strategis, kita mesti
mengalokasikan sumber daya habis-habisan untuk memelihara dan mengembangkan
talenta terbaik mereka.
Dengan pendekatan semacam itu, kita tidak perlu
lagi repot atau terlalu ambisius untuk mengembangkan semua karyawan (dan ini
sering membikin kita selalu kehabisan energi). Kita cukup memfokuskan energi
terbesar kita pada karyawan yang menduduki posisi kunci dan bersifat strategis
(dan acapkali jumlah karyawan golongan ini tidak lebih dari 30% jumlah total
karyawan). Talenta-talenta karyawan di golongan inilah yang mesti kita hajar
habis-habisan. Dengan pola ini, kita bisa lebih fokus, lebih bisa menghemat
energi, dan yang paling penting : bisa meraih hasil yang jauh lebih produktif.
Demikianlah, dua filosofi kunci yang mesti selalu
dikenang tatkala kita hendak membangun sebuah sistem talent management yang
unggul. Sebuah filosofi yang berangkat dari keyakinan bahwa : not everyone of
us is equal. Sorry, kedengarannya ini agak diskriminatif, but this is a fact of
life. Accept this, or you will be left behind the dust.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar