Orang-orang yang bekerja di industri teknologi
kerap kali mengalami gangguan tidur. Marissa Mayer mengakui bahwa ia bekerja
hampir 130 jam setiap minggunya di Google. Mayer kerap kali ‘merapel’ tidurnya
dalam satu minggu bahkan tertidur di mejanya ketika ia mengantuk. Lain lagi
dengan Jack Dorsey, co-founder Twitter and Square. Dorsey pada tahun 2009
bekerja antara 16-20 jam setiap harinya, 8-10 jamnya ia habiskan untuk bekerja
di kantor. Dorsey menyatakan bahwa ia tidak mendapatkan tidur yang cukup namun
itu cukup bagi dirinya. Melihat kasus seperti ini, tidak mengherankan jika di
perusahaan teknologi terdapat nap room ataupun nap pod.
Bukan hanya para petingginya saja, namun para
karyawan di perusahaan teknologi pun bernasib sama. Berdasarkan polling yang
dilakukan oleh Gallup pada tahun 2013, pekerja di Amerika menghabiskan waktu
antara 6.8 jam setiap malamnya untuk tidur, bukannya 8 jam. Sedangkan jam
sisanya dihabiskan untuk bekerja dari rumah melalui smartphone ataupun tablet.
Gangguan tidur ini dapat memberikan beberapa
konsekuensi. Menurut Dr. Bob Albers dari New Mexico Center for Sleep Medicine,
kurang tidur dapat menyebabkan imposter syndrome Albers menyatakan
bahwa tidur yang cukup akan memberikan memori emosi yang positif, namun jika
sebaliknya akan memberikan memori emosi yang negatif, dimana kondisi ini
dikatakan imposter. Albers menambahkan bahwa setiap individu membutuhkan
wakut tidur lebih banyak dibandingkan dengan yang mereka pikirkan.
“Tidur merupakan salah satu proses pengembalian
fungsi otak, meskipun banyak yang menyatakan bahwa tidur yang sedikit pun bisa
juga memperbaikinya. Stress terkait pekerjaan kerap kali disebabkan oleh kurang
tidur. Banyak artikel yang menyatakan bahwa tidur 5-6 jam itu cukup, namun
menurut penelitian tidur yang cukup itu adalah antara 7-8 jam. Menurut saya,
seorang programmer perlu tidur 9 jam setiap harinya agar lebih produktif
dan akurat,” ungkap Albers.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar