Multiple Intelegence, memang cukup berpengaruh
dalam dunia pendidikan saat ini, IQ, SQ, dan EQ adalah hal yang paling utama
bagi seorang siswa dalam menunjang perkembangan pribadinya, berbagai macam cara
dan aktifitas apapun di lakukan oleh para pakar pendidikan untuk mengoptimalkan
kecerdasan tersebut agar menjadi sumber daya manusia yang berkualitas, sampai
muncullah Adversity Quotient yang di temukan oleh Poul G. Stoltz, yaitu suatu
kecerdasan atau kemampuan dalam merubah, atau mengolah sebuah permasalahan atau
kesulitan dan menjadikanya sebuah tantangan yang harus di selesaikan agar tidak
menghalangi cita-cita dan prestasi yang ingin diraih.
Bidang pendidikan mulai mengembangkan AQ (Adversity
Quotient) lewat berbagai macam bentuk cara dan aktifitas di lakukan agar
menunjang lembaga pendidikan dalam mencetak siswa yang berkualitas.
Bagi siswa
selain IQ, EQ, SQ, kreatifitas dan keberbakat, juga membutuhkan adversity
quotient (AQ), karena AQ mempunyai peran yang cukup penting terutama dalam
menyelesaiakn masalah yang dihadapi oleh siswa. AQ mempunyai empat dimensi yang
sangat penting yang dapat membantu tingkat AQ menjadi tinggi yaitu: 1) kendali
diri (Control (C)), 2) Asal-usul dan Pengakuan (Origin &Ownership(O2)), 3)
Jangkauan (Reach(R)), 4) Daya tahan (Endurance(E)) yang biasa di singkat dengan
(CO2RE).
Salah satu yang mempengaruhi AQ adalah academic
self effacey atau keyakinan terhadap kemampuan diri. Jika siswa yakin akan
kemampuan dirinya menghadapi kesupitan belajarnya maka daya juangnya akan
semakin besar. Namun fenomena yang terjadi belakangan ini, menyatakan bahwa
banyak siswa memiliki daya juang yang rendah, hal ini ditunjukkan saat mereka mengalami kessulitan akademik, banyak
diantara mereka yang cepat merasa putus asadan tidak ingin berjuang lagi.
Semua orang pasti ingin merasa bahagia. Akan
tetapi, banyak yang tidak menyadari bahwa kemampuan meraih kebahagiaan sangat
tergantung pada masing-masing individu. Hal ini terkait dengan kekuatan
kepribadian dan kemampuan masing-masing dalam merespon dan bertahan menghadapi
hidup. Dalam istilah psikologi, Dr. Paul Stoltz menciptakan istilah “Adversity
Quotient” (AQ). Menurut definisi beliau, Adversity Quotient adalah “the
capacity of the person to deal with the adversities of his life. As such, it is
the science of human resilience,” atau bila diterjemahkan “kemampuan seseorang
untuk menghadapi tantangan kesengsaraan dalam hidupnya. Singkatnya, ini adalah
ilmu tentang daya kenyal manusia.” Istilah “daya kenyal” sendiri mungkin
terdengar aneh, karena itulah terjemahan yang saya dapat dari Kamus
Inggris-Indonesia “standar” yang disusun oleh John M. Echols dan Hassan
Shadily. Istilah itu sendiri maksudnya adalah kelenturan. Jadi, AQ merupakan
intelejensi khusus yang berkaitan dengan kelenturan seseorang menghadapi
problema kehidupan. Makin lentur ia, makin mampu ia menghadapi kesulitan hidup.
Sayangnya, seringkali seseorang begitu rendah
AQ-nya, meski mungkin dianugerahi IQ tinggi. Karena itu, seringkali kita
melihat ada orang yang pintar namun miskin. Ini karena ia tidak mampu
menyiasati hidup. Sementara banyak orang tidak pintar namun kaya. Akan tetapi,
jangan salah, pendidikan formal tetap perlu. Karena ada yang lebih penting
daripada ilmu yang dipelajari dalam pendidikan formal, yaitu wawasan, logika dan
jaringan. Itulah yang dikembangkan oleh orang-orang hebat yang sukses di
bidangnya.
1 Adversity Quotient
Adversity
Quotient (AQ) adalah ukuran atau standar yang dipakai untuk menentukan tingkat
kemampuan seseorang dalam menghadapi dan bertahan terhadap kesulitan hidup dan
tantangan yang dialami. Kemampuan menghadapi semua kesulitan tersebut sebagai
suatu proses untuk mengembangkan diri, potensi, dan mencapai tujuan. Menurut
Stoltz, AQ adalah kecerdasan untuk mengatasi kesulitan. “AQ merupakan faktor yang dapat menentukan bagaimana, jadi
atau tidaknya, serta
sejauh mana sikap, kemampuan dan
kinerja Anda terwujud di dunia,” tulis Stoltz. Pendek kata, orang yang memiliki
AQ tinggi akan lebih mampu mewujudkan
cita-citanya dibandingkan orang yang AQ-nya lebih rendah. Adversity
Quotient adalah kecerdasan yang dimiliki seseorang dalam mengatasi kesulitan
dan sanggup untuk bertahan hidup. Adversity Quotient (AQ) adalah ukuran atau
standar yang dipakai untuk menentukan tingkat kemampuan seseorang dalam menghadapi
dan bertahan terhadap kesulitan hidup dan tantangan yang dialami. Kemampuan
menghadapi semua kesulitan tersebut sebagai suatu proses untuk mengembangkan
diri, potensi, dan mencapai tujuan. Adversity Quotient adalah kecerdasan yang
muncul karena tekanan, kesulitan dan penderitaan.
Stoltz
berpendapat bahwa ada tiga bentuk yang dapat dijabarkan dari adversity quotient
sebagai suatu pengukuran dari adversity intelligence, yaitu suatu kerangka
kerja konseptual dalam melakukan perumusan untuk memahami dan meningkatkan
kesuksesan, suatu ukuran untuk mengetahui pola-pola respon individu terhadap
kesulitan dan tantangan, dan serangkaian kecakapan-kecakapan yang dapat
diperbaiki untuk menuju pada respon yang lebih baik dalam menghadapi kesulitan
Menurut Paul
G. Stoltz, dengan kecerdasan ini kita dapat mengubah hambatan menjadi peluang,
karena kecerdasan ini merupakan penentu seberapa jauh kita mampu bertahan dalam
menghadapi dan mengatasi kesulitan hidup. Faktor penentu kesuksesan tidak hanya
kercerdasan intelektual dan emosional saja. “Jauh lebih penting mengetahui,
bagaimana menghadapi hal-hal yang negatif (kesulitan) daripada menghadapi hal2
yg positif (menyenangkan).
Ada rumus
menghadapi kesulitan dilihat dari sisi kita
E + R =O
E=Event
R=Respon (asalnya dari kita)
O=Sasaran/hasil/tujuan
Peristiwa tidaklah penting, tetapi RESPON kita atas
peristiwa tersebut adalah segala-galanya dan menentukan masa depan. Orang yang
merespon kesulitan atau masalah sebagai suatu yg berlangsung lama dan
berlarut-larut, dan diluar kendali, mereka akan menderita. Orang yang merespon
kesulitan sebagai suatu yang pasti cepat, terbatas dan external dan berada
dalam kendali, mereka akan bangkit dan berkembang. Respon seseorang terhadap
kesulitan mempengaruhi semua segi efektifitas kerja dan kesuksesan. Saya tidak
membagi dunia ini menjadi yang lemah dan yang kuat, atau yang sukses dan yang
gagal. Saya membagi dunia menjadi pembelajar dan non pembelajar (Benyamin
Barber, Sosiolog). Belajar duduk, merangkak, berdiri, berjalan, berlari,
mendengar, bicara, membaca, menulis, naik sepeda. Semua dialkukan
berulang-ulang, tidak mempersoalkan cerdas dan berbakat atau tidak, melalui
proses yang tak kenal menyerah dengan satu target SAMPAI BISA.
Dengan AQ, seseorang diukur kemampuannya dalam
mengatasi setiap persoalan. Faktor dominan pembentuk AQ adalah sikap pantang
menyerah. AQ akan menjadi factor penentu sukses, jika orang lain gagal,
sementara kesempatan dan peluang yang dimiliki sama.
Banyak yang mengidentikkan kebahagiaan dengan
kesuksesan. Sementara kesuksesan dianggap setali tiga uang dengan kekayaan.
Padahal, itu tidak betul. Kebahagiaan juga tidak berarti kita harus selalu
tersenyum atau tertawa. Karena itu berarti kebahagiaan identik dengan
kesenangan dan rasa senang. Padahal, kebahagiaan jauh lebih luas daripada itu.
Kebahagiaan bisa didapat dari banyak hal. Salah satu aspek yang sering
diajarkan orang-orang tua di Jawa adalah sikap “nrimo ing pandum”. Dalam Islam,
dikenal istilah “qona’ah”. Ini merupakan perwujudan sikap menerima apa yang
kita dapat -dengan pengertian dianugerahkan oleh Tuhan sebagai berkah- setelah
berikhtiar. Jadi, semua harus didahului ikhtiar atau usaha, bukan dengan
berpangku tangan dan berkeluh-kesah. Adversity Quotient adalah kemampuan untuk
“nrimo ing pandum” atau “qona’ah” tadi. Dalam segala yang kita hadapi dan
terima, kita harus mampu mencari “blessing in disguise”-nya. Dalam setiap
kesulitan, pasti ada kemudahan. Ini berarti, pribadi dengan AQ tinggi akan mampu
mencari jalan keluar atau solusi dari masalahnya dengan berupaya memecahkan
sumber masalahnya langsung, bukan dengan berkeluh-kesah dan menyalahkan orang
lain. Ia akan tangguh berjuang menghadapi hidup dan menaklukkannya. Dalam
proses itulah kebahagiaan diraih. Dengan menyikapi hidup sebagai arena
perjuangan, pembelajaran, pertemanan dan berbagi tanpa henti, niscaya
kebahagiaan hidup itu akan tampak
realistis dan bisa dicapai segera tanpa perlu menunggu sukses atau kaya lebih
dulu
Stoltz
mengatakan bahwa ada 4 dimensi pada AQ:
Control perasaan
mampu untuk mempengaruhi situasi secara positif, dan mampu berada dalam control
diri sendiri dan memberikan respon terhadap situasi
Ownership mengambil tanggung jawab pada sendiri
untuk merubah situasi
Reach mampu
berada di tempat ataupun di situasi-situasi dalam situasi pekerjaan ataupun
kehidupan
Endurance mampu berpresepsi terhadap tekanan dan
kapan situasi tertekan itu akan berakhir
John Gray (2001) mengatakan “semua kesulitan
sesungguhnya merupakan kesempatan bagi jiwa kita untuk tumbuh”. Adapun dimensi
yang terkait dengan kecerdasan menghadapi kesulitan adalah: (1) control atau
kendali mempertanyakan berapa banyak kendali yang anda rasakan terhadap sebuah
peristiwa yang menimbulkan kesulitan?; (2) origin dan ownership mempertanyakan
dua hal, yakni: siapa atau apa yang menjadi asal usul kesulitan, dan sampai
sejauhmanakah seseorang mengakui akibat kesulitan itu?; (3) reach atau
jangkauan mempertanyakan sejauhmana kesulitan akan menjangkau atau merembes ke
bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang?; (4) endurance atau daya tahan
mempertanyakan dua hal, yakni; berapa lamakah kesulitan berlangsung dan lamanya
penyebab kesulitan tersebut akan bertahan?
Kecerdasan menghadapi kesulitan tersebut dapat
ditingkatkan atau dapat diperbaiki dengan melakukan hal-hal sebagai berikut;
(1) listen atau dengarkanlah respons terhadap kesulitan ; (2) explore atau
jajaki asal usul dan pengakuan atas akibatnya; (3) analysis bukti-buktinya; dan
(4) do atau lakukan sesuatu. Magnesen (2000) mengatakan bahwa; “90% pemahaman
belajar diperoleh dari melakukan sesuatu. Konfusius lebih dari 2400 tahun silam
menyatakan, bahwa; “yang saya dengar saya lupa, yang saya lihat sangat ingat,
dan yang saya kerjakan saya paham.” Namun sayangnya praktek pendidikan dan
pembelajaran baik yang dilakukan oleh orang tua, guru dan masyarakat belum
sampai pada proses pembelajaran yang mengajarkan kepada anak dan siswanya
bagaimana menghadapi kesulitan (adversity quotient).
Masih sering kita temukan pola asuh, pendidikan
oleh orang tua terhadap anaknya dilaksanakan dengan cara memanjakannya. Kita
lupa bahwa pola asuh dan pendidikan dengan memanjakan anak (spoiling) adalah
merusak atau membuat ia tidak berdaya, Martin Seligman menyebutnya sebagai
proses ketidakberdayaan atau pembodohan yang dipelajari. Akibatnya masih banyak
anak kita yang sudah dewasa dan bahkan sudah sarjana ketika dihadapkan pada
masalah yang menurut kita sangat sederhana tidak mampu mereka atasi dan masih
meminta bantuan orang lain terutama pada kedua orang tuanya.
Untuk mengukur seberapa besar ukuran AQ kita, maka
dapat dihitung lewat uji ARP (Adversity Response Profile). Terdapat sejumlah
pertanyaan yang kemudian dikelompokkan kedalam unsur Control, Origin and
Ownership, Reach dan Endurance, atau dengan akronim CO2RE. Dari situ barulah
kemudian akan didapat skor AQ kita, dimana bila skor (0-59) adalah AQ rendah,
(95-134) adalah AQ sedang, (166-200) adalah AQ tinggi. Skor (60-94) adalah
kisaran untuk peralihan dari AQ rendah ke AQ sedang dan kisaran (135-165)
adalah peralihan dari AQ sedang ke AQ tinggi.
Untuk merubah kemampuan AQ kita, lebih lanjut
Stoltz menyarankan untuk mulai memperhatikan respons dari situasi yang sulit.
Secara umum AQ manusia ditetapkan oleh 4 prinsip:
AQ membuat manusia untuk bisa bertahan pada tekanan
dan bagaimana mengatasi tekanan tersebut.
AQ membuat manusia mampu menyelesaikan
permasalahannya terkait dengan tekanan yang diterima dan seberapa parah tekanan
itu akan berefek/berpengaruh terhadap kehidupan.
AQ membuat manusia untuk berpikir lebih dari
harapannya untuk bias menunjukkan potensi-potensi yang dimiliki.
AQ membuat manusia memprediksi kapan dia akan
menyerah dan kapan dia akan mampu mengatasi tekanan.
AQ dapat
digunakan untuk memprediksi kemapuan seseorang kaitannya dengan:
Dayaguna seseorang, motivasi,
Memberikan kewenangan terhadap seseorang
kreativitas,
Produktivitas
Pembelajaran
Pengharapan
Vitalitas
Kegembiraan dan kesenangan seseorang
Kesehatan emosional
Kesehatan fisik
Ketekunan
Sikap
Harapan hidup seseorang
Respon terhadap perubahan
2 Adversity Quotient dalam Pendidikan
Manusia pada prinsipnya dilahirkan untuk memiliki
sifat mendaki. Pendakian ini maknanya
adalah bergerak untuk mencapai tujuan hidup kedepan. Maka Adversity Quotient
(AQ) adalah penentu kesuksesan seseorang untuk mencapai puncak pendakian.
Secara naluri, dalam proses untuk melakukan pendakian akan dihadapkan pada
berbagai hambatan, tantangan dan kesulitan. Semuanya ini tidak cukup
diselesaikan dengan hanya bermodalkan kecerdasan intelektual tetapi juga perlu
dengan bantuan kecerdasan emosional.
Maka AQ memperlihatkan bagaimana seseorang merespon kesulitan serta
perubahan-perubahan yang dihadapinya.
Orang yang memiliki AQ tinggi tidak akan pernah
takut dalam menghadapi berbagai tantangan dalam proses pendakiannya. Bahkan dia
akan mampu untuk mengubah tantangan yang dihadapinya dan menjadikannya sebuah
peluang
Untuk memberikan gambaran, Stoltz meminjam terminologi
para pendaki gunung. Dalam hal ini, Stoltz membagi para pendaki gunung
menjadi tiga bagian:
Quitter (yang
menyerah). Para quitter adalah para pekerja yang sekadar untuk bertahan hidup). Mereka ini
gampang putus asa dan menyerah di tengah jalan. Quitters. Adalah orang yang
langsung berhenti di awal pendakian. Mereka cenderung untuk selalu memilih
jalan yang lebih datar dan lebih mudah. Mereka umumnya bekerja sekedar untuk
hidup, semangat kerja yang minim, tidak berani mengambil resiko, dan cenderung
tidak kreatif. Umumnya tidak memiliki visi yang jelas serta berkomitmen rendah
ketika menghadapi tantangan dihadapan. Dalam kaitannya dengan dunia pendidikan
dapat kita kategorikan peserta didik yang hanya menerima pembelajaran ataupun
tugas-tugas yang diberikan oleh guru dan mengerjakannya dengan motivasi yang
rendah. Dengan kata lain tipe peserta didik ini memiliki kemampuan mengahadapi
tekanan terhadap beban belajar yang rendah.
Camper (berkemah di tengah perjalanan) Para camper
lebih baik, karena biasanya mereka
berani melakukan pekerjaan yang berisiko, tetapi tetap mengambil risiko yang
terukur dan aman. Orang-orang ini sekurang-kurangnya sudah merasakan
tantangan, dan selangkah lebih maju dari para quitters. Sayangnya banyak
potensi diri yang tidak teraktualisasikan, dan yang jelas pendakian itu
sebenarnya belum selesai. Campers. Adalah orang yang berhenti dan tinggal di
tengah pendakian. Mendaki secukupnya lalu berhenti kemudian mengakhiri
pendakiannya. Umumnya setelah mencapai tingkat tertentu dari pendakiannya maka
fokusnya berpaling untuk kemudian menikmati kenyamanan dari hasil pendakiannya.
Maka banyak kesempatan untuk maju menjadi lepas karena fokus sudah tidak lagi
pada pendakian. Sifatnya adalah satisficer, merasa puas diri dengan hasil yang
sudah dicapai. Kaitannya dengan dunia pendidikan peserta didik yang tergolong
di tipe ini biasanya memiliki kemampuan untuk menerima tekanan dan beban
belajar, namun seringkali mereka tidak menyelesaikan tugas dan beban belajarnya
dengan baik.
Climber
(pendaki yang mencapai puncak). Para
climber, yakni mereka, yang dengan segala keberaniannya menghadapi
risiko, akan menuntaskan pekerjaannya.
Mereka mampu menikmati proses menuju keberhasilan, walau mereka tahu bahwa akan
banyak rintangan dan kesulitan yang menghadang. Namun, di balik kesulitan itu ia
akan mendapatkan banyak kemudahan.”Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu
ada kemudahan”. Climbers. Orang yang berhasil mencapai puncak pendakian. Mereka
senantiasa terfokus pada usaha pendakian tanpa menghiraukan apapun keadaan yang
dialaminya. Selalu memikirkan berbagai macam kemungkinan dan tidak akan pernah
terkendala oleh hambatan yang dihadapinya. Mundur sejenak adalah proses alamiah
dari pendakian, dan mereka senantiasa mempertimbangkan dan mengevaluasi hasil
pendakiannya untuk kemudian bergerak lagi maju hingga puncak pendakian
tercapai. Dalam dunia pendidikan peserta didik di level ini (climbers) adalah
peserta didik yang mampu menerima tekanan dan beban belajar, mencari dan
mengembangkan, dan menyelesaikan tugas dan beban belajarnya dengan baik tanpa
meninggalkan perasaan tertekan atau mampu bertahan terhadap tekanan.
Dalam konteks ini, para climber dianggap memiliki
AQ tinggi. Dengan kata lain, AQ membedakan antara para climber, camper,
dan quitter
Quitter = Fisiologi: lapar, haus, tidur
Quitter = Keamanan: bertahan hidup, seperti perlindungan dari
perang dan keamanan.
Camper = Cinta dan rasa memiliki: kasih saying dan perhatian
dari orang lain.
Harga diri: menghargai diri sendiri.
Climber = Aktualisasi diri: realisasi potensi diri.
Dikaitkan antara AQ dengan piramida motivasi Maslow
adalah, untuk quitters berada pada tingkat fisologi saja. Untuk Campers hanya
sampai pada tingkat keamanan saja. Sedangkan untuk Climbers sudah mencakup
keseluruhan piramida dari fisiologi sampai aktualisasi diri.
Ketika
akhirnya Thomas Alva Edison (1847 – 1931)
berhasil menemukan baterai yang ringan dan tahan lama, dia telah
melewati 50.000 percobaan dan bekerja selama 20 tahun. Tak heran kalau ada
yang bertanya, “Mr. Edison, Anda telah
gagal 50.000 kali, lalu apa yang membuat
Anda yakin bahwa akhirnya Anda akan berhasil?” Secara spontan Edison langsung
menjawab, “Berhasil? Bukan hanya berhasil, saya telah mendapatkan banyak hasil.
Kini saya tahu 50.000 hal yang tidak berfungsi!”
Jawaban luar
biasa dari pencipta lampu pijar itu menjadi salah satu contoh
ekstrem seorang climber (pendaki)–yang dianggap memiliki kecerdasan
mengatasi kesulitan (adversity quotient, AQ) tinggi. Terminologi AQ memang
tidak sepopuler kecerdasan emosi
(emotional quotient) milik Daniel
Goleman, kecerdasan finansial (financial
quotient) milik Robert T. Kiyosaki, atau kecerdasan eksekusi (execution
quotient) karya Stephen R. Covey.
AQ ternyata bukan sekadar anugerah yang
bersifat given. AQ ternyata bisa
dipelajari. Dengan latihan-latihan
tertentu, setiap orang bisa diberi
pelatihan untuk meningkatkan level AQ-nya.
Manusia sejati adalah manusia yang jika menempuh
perjalanan yang sulit, mereka selalu optimis; sedangkan jika mereka melewati
perjalanan yang mudah mereka malah khawatir
Dalam dunia pendidikan, hanya para climbers-lah
yang akan mendapatkan kesuksesan dan keberhasilan. Sebuah penelitian yang
dilakukan Charles Handy-seorang pengamat ekonomi kenamaan asal Inggris terhadap
ratusan orang sukses di Inggris memperlihatkan bahwa mereka memiliki tiga
karakter yang sama. Yaitu, pertama, mereka berdedikasi tinggi terhadap apa yang
tengah dijalankannya. Dedikasi itu bisa berupa komitmen, kecintaan atau ambisi
untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik. Kedua, mereka memiliki determinasi.
Kemauan untuk mencapai tujuan, bekerja keras, berkeyakinan, pantang menyerah
dan kemauan untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Dan ketiga, selalu berbeda
dengan orang lain. Orang sukses memakai jalan, cara atau sistem bekerja yang
berbeda dengan orang lain pada umumnya. Dua dari tiga karakter orang sukses
yang diungkapkan Handy dalam The New Alchemist tersebut erat kaitannya dengan
kemampuan seseorang dalam menghadapi tantangan
3 Kesimpulan
3.1 Adversity Quotient (AQ) adalah ukuran atau
standar yang dipakai untuk menentukan tingkat kemampuan seseorang dalam
menghadapi dan bertahan terhadap kesulitan hidup dan tantangan yang dialami.
3.2 Peranan
Adversity Quotion dalam pendidikan adalah membantu siswa untuk tidak mudah
menyerah, lebih tahan kemalangan, dan tidak mudah putus asa etrhadap
masalah-masalah pendidikan yang dihadapinya.
Quitter. Dalam kaitannya dengan dunia pendidikan
dapat kita kategorikan peserta didik yang hanya menerima pembelajaran ataupun
tugas-tugas yang diberikan oleh guru dan mengerjakannya dengan motivasi yang
rendah. Dengan kata lain tipe peserta didik ini memiliki kemampuan mengahadapi
tekanan terhadap beban belajar yang rendah.
Camper
Kaitannya dengan dunia pendidikan peserta didik yang tergolong di tipe
ini biasanya memiliki kemampuan untuk menerima tekanan dan beban belajar, namun
seringkali mereka tidak menyelesaikan tugas dan beban belajarnya dengan baik.
Climber. Dalam dunia pendidikan peserta didik di
level ini (climbers) adalah peserta didik yang mampu menerima tekanan dan beban
belajar, mencari dan mengembangkan, dan menyelesaikan tugas dan beban
belajarnya dengan baik tanpa meninggalkan perasaan tertekan atau mampu bertahan
terhadap tekanan.
4 Saran
Bertolak dari pembahasan dan kesimpulan, maka
penulis mengajukan saran-saran sebagai berikut:
Dalam kegiatan belajar di sekolah atau dalam dunia
pendidikan, supaya tidak hanya mementingkan IQ, EQ, SQ, saja tetapi juga mengutamakan
Adversity Quotien (AQ). Supaya kajian tentang AQ menjadi lebih sempurna, agar
dikaji dengan literatur yang lebih banyak lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Djuartono,
Sudji. 2001. Adersity Quotient. Dapat ditemukan pada
http://www.mail-archive.com/ia-sumatra@millis.plasa.com/msg00597 .html (diakses
tanggal 23 JAnuari 2011)
Hergenhahn,
B.r dan Olson, Matthew H. 2008. Theories Of Learning. Teori Belajar. Jakarta;
Kencana Prenada Media Group
McGregor,Sandy. 2003. Peace Of Mind,
Menggunakan Kekuatan Pikiran Bawah Sadar untuk Mencapai Tujuan. Jakarta;
Gramedia Pustaka Utama
Amliati, Wa
Ode. 2007. Studi Deskriptif Adversity Quotient (AQ) Remaja Sekolah Menengah
Atas (SMA) Di Semarang. Dapat ditemukan pada (http://eprints.undip.ac.id/10385)
diakses tanggal 23 Januari 2011.
Santrock,
John W. 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta; Prenada Media Group.
Stoltz, Paul
G. 1997. Adversity Quotient. USA.
Kebahagiaan
Hidup dan Adversity Quotient. Dapat ditemukan pada
http://umumkompasiana.com/2010/02/10/kebahagiaan/hidup/adversity/quotient/
diakses tanggal 23 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar