Kini di era MEA 2015 war for talent antar organisasi telah menjadi kenyataan di depan mata kita. Kebutuhan unit kerja, organisasi dan kepesatan peningkatan perusahaan tidak diiringi ketersediaan penawaran profesional yang sepadan. Hal ini mengakibatkan perang talenta memanas hingga ke level tertinggi. Persaingan perekrutan dan pembajakan talenta profesional bahkan menghadirkan praktik perang talenta di luar batas logika akal sehat. The demands for talent for exceeds supply. Manajemen talenta, tak pelak merupakan salah satu isu prioritas yang paling membuat pusing para eksekutif puncak dewasa ini

Selasa, 02 September 2014

Adversity Quotient dalam Pendidikan


Multiple Intelegence, memang cukup berpengaruh dalam dunia pendidikan saat ini, IQ, SQ, dan EQ adalah hal yang paling utama bagi seorang siswa dalam menunjang perkembangan pribadinya, berbagai macam cara dan aktifitas apapun di lakukan oleh para pakar pendidikan untuk mengoptimalkan kecerdasan tersebut agar menjadi sumber daya manusia yang berkualitas, sampai muncullah Adversity Quotient yang di temukan oleh Poul G. Stoltz, yaitu suatu kecerdasan atau kemampuan dalam merubah, atau mengolah sebuah permasalahan atau kesulitan dan menjadikanya sebuah tantangan yang harus di selesaikan agar tidak menghalangi cita-cita dan prestasi yang ingin diraih.
Bidang pendidikan mulai mengembangkan AQ (Adversity Quotient) lewat berbagai macam bentuk cara dan aktifitas di lakukan agar menunjang lembaga pendidikan dalam mencetak siswa yang berkualitas.
Bagi siswa selain IQ, EQ, SQ, kreatifitas dan keberbakat, juga membutuhkan adversity quotient (AQ), karena AQ mempunyai peran yang cukup penting terutama dalam menyelesaiakn masalah yang dihadapi oleh siswa. AQ mempunyai empat dimensi yang sangat penting yang dapat membantu tingkat AQ menjadi tinggi yaitu: 1) kendali diri (Control (C)), 2) Asal-usul dan Pengakuan (Origin &Ownership(O2)), 3) Jangkauan (Reach(R)), 4) Daya tahan (Endurance(E)) yang biasa di singkat dengan (CO2RE).

Salah satu yang mempengaruhi AQ adalah academic self effacey atau keyakinan terhadap kemampuan diri. Jika siswa yakin akan kemampuan dirinya menghadapi kesupitan belajarnya maka daya juangnya akan semakin besar. Namun fenomena yang terjadi belakangan ini, menyatakan bahwa banyak siswa memiliki daya juang yang rendah, hal ini ditunjukkan saat  mereka mengalami kessulitan akademik, banyak diantara mereka yang cepat merasa putus asadan tidak ingin berjuang lagi.
Semua orang pasti ingin merasa bahagia. Akan tetapi, banyak yang tidak menyadari bahwa kemampuan meraih kebahagiaan sangat tergantung pada masing-masing individu. Hal ini terkait dengan kekuatan kepribadian dan kemampuan masing-masing dalam merespon dan bertahan menghadapi hidup. Dalam istilah psikologi, Dr. Paul Stoltz menciptakan istilah “Adversity Quotient” (AQ). Menurut definisi beliau, Adversity Quotient adalah “the capacity of the person to deal with the adversities of his life. As such, it is the science of human resilience,” atau bila diterjemahkan “kemampuan seseorang untuk menghadapi tantangan kesengsaraan dalam hidupnya. Singkatnya, ini adalah ilmu tentang daya kenyal manusia.” Istilah “daya kenyal” sendiri mungkin terdengar aneh, karena itulah terjemahan yang saya dapat dari Kamus Inggris-Indonesia “standar” yang disusun oleh John M. Echols dan Hassan Shadily. Istilah itu sendiri maksudnya adalah kelenturan. Jadi, AQ merupakan intelejensi khusus yang berkaitan dengan kelenturan seseorang menghadapi problema kehidupan. Makin lentur ia, makin mampu ia menghadapi kesulitan hidup.
Sayangnya, seringkali seseorang begitu rendah AQ-nya, meski mungkin dianugerahi IQ tinggi. Karena itu, seringkali kita melihat ada orang yang pintar namun miskin. Ini karena ia tidak mampu menyiasati hidup. Sementara banyak orang tidak pintar namun kaya. Akan tetapi, jangan salah, pendidikan formal tetap perlu. Karena ada yang lebih penting daripada ilmu yang dipelajari dalam pendidikan formal, yaitu wawasan, logika dan jaringan. Itulah yang dikembangkan oleh orang-orang hebat yang sukses di bidangnya.

1    Adversity Quotient
 Adversity Quotient (AQ) adalah ukuran atau standar yang dipakai untuk menentukan tingkat kemampuan seseorang dalam menghadapi dan bertahan terhadap kesulitan hidup dan tantangan yang dialami. Kemampuan menghadapi semua kesulitan tersebut sebagai suatu proses untuk mengembangkan diri, potensi, dan mencapai tujuan. Menurut Stoltz, AQ adalah kecerdasan untuk mengatasi kesulitan. “AQ merupakan faktor  yang dapat menentukan bagaimana, jadi atau  tidaknya,  serta  sejauh  mana sikap, kemampuan dan kinerja Anda terwujud di dunia,” tulis Stoltz. Pendek kata, orang yang memiliki AQ tinggi akan lebih mampu mewujudkan  cita-citanya dibandingkan orang yang AQ-nya lebih rendah. Adversity Quotient adalah kecerdasan yang dimiliki seseorang dalam mengatasi kesulitan dan sanggup untuk bertahan hidup. Adversity Quotient (AQ) adalah ukuran atau standar yang dipakai untuk menentukan tingkat kemampuan seseorang dalam menghadapi dan bertahan terhadap kesulitan hidup dan tantangan yang dialami. Kemampuan menghadapi semua kesulitan tersebut sebagai suatu proses untuk mengembangkan diri, potensi, dan mencapai tujuan. Adversity Quotient adalah kecerdasan yang muncul karena tekanan, kesulitan dan penderitaan.
 Stoltz berpendapat bahwa ada tiga bentuk yang dapat dijabarkan dari adversity quotient sebagai suatu pengukuran dari adversity intelligence, yaitu suatu kerangka kerja konseptual dalam melakukan perumusan untuk memahami dan meningkatkan kesuksesan, suatu ukuran untuk mengetahui pola-pola respon individu terhadap kesulitan dan tantangan, dan serangkaian kecakapan-kecakapan yang dapat diperbaiki untuk menuju pada respon yang lebih baik dalam menghadapi kesulitan
 Menurut Paul G. Stoltz, dengan kecerdasan ini kita dapat mengubah hambatan menjadi peluang, karena kecerdasan ini merupakan penentu seberapa jauh kita mampu bertahan dalam menghadapi dan mengatasi kesulitan hidup. Faktor penentu kesuksesan tidak hanya kercerdasan intelektual dan emosional saja. “Jauh lebih penting mengetahui, bagaimana menghadapi hal-hal yang negatif (kesulitan) daripada menghadapi hal2 yg positif (menyenangkan).
 Ada rumus menghadapi kesulitan dilihat dari sisi kita

E + R =O
E=Event
R=Respon (asalnya dari kita)
O=Sasaran/hasil/tujuan

Peristiwa tidaklah penting, tetapi RESPON kita atas peristiwa tersebut adalah segala-galanya dan menentukan masa depan. Orang yang merespon kesulitan atau masalah sebagai suatu yg berlangsung lama dan berlarut-larut, dan diluar kendali, mereka akan menderita. Orang yang merespon kesulitan sebagai suatu yang pasti cepat, terbatas dan external dan berada dalam kendali, mereka akan bangkit dan berkembang. Respon seseorang terhadap kesulitan mempengaruhi semua segi efektifitas kerja dan kesuksesan. Saya tidak membagi dunia ini menjadi yang lemah dan yang kuat, atau yang sukses dan yang gagal. Saya membagi dunia menjadi pembelajar dan non pembelajar (Benyamin Barber, Sosiolog). Belajar duduk, merangkak, berdiri, berjalan, berlari, mendengar, bicara, membaca, menulis, naik sepeda. Semua dialkukan berulang-ulang, tidak mempersoalkan cerdas dan berbakat atau tidak, melalui proses yang tak kenal menyerah dengan satu target SAMPAI BISA.
Dengan AQ, seseorang diukur kemampuannya dalam mengatasi setiap persoalan. Faktor dominan pembentuk AQ adalah sikap pantang menyerah. AQ akan menjadi factor penentu sukses, jika orang lain gagal, sementara kesempatan dan peluang yang dimiliki sama.
Banyak yang mengidentikkan kebahagiaan dengan kesuksesan. Sementara kesuksesan dianggap setali tiga uang dengan kekayaan. Padahal, itu tidak betul. Kebahagiaan juga tidak berarti kita harus selalu tersenyum atau tertawa. Karena itu berarti kebahagiaan identik dengan kesenangan dan rasa senang. Padahal, kebahagiaan jauh lebih luas daripada itu. Kebahagiaan bisa didapat dari banyak hal. Salah satu aspek yang sering diajarkan orang-orang tua di Jawa adalah sikap “nrimo ing pandum”. Dalam Islam, dikenal istilah “qona’ah”. Ini merupakan perwujudan sikap menerima apa yang kita dapat -dengan pengertian dianugerahkan oleh Tuhan sebagai berkah- setelah berikhtiar. Jadi, semua harus didahului ikhtiar atau usaha, bukan dengan berpangku tangan dan berkeluh-kesah. Adversity Quotient adalah kemampuan untuk “nrimo ing pandum” atau “qona’ah” tadi. Dalam segala yang kita hadapi dan terima, kita harus mampu mencari “blessing in disguise”-nya. Dalam setiap kesulitan, pasti ada kemudahan. Ini berarti, pribadi dengan AQ tinggi akan mampu mencari jalan keluar atau solusi dari masalahnya dengan berupaya memecahkan sumber masalahnya langsung, bukan dengan berkeluh-kesah dan menyalahkan orang lain. Ia akan tangguh berjuang menghadapi hidup dan menaklukkannya. Dalam proses itulah kebahagiaan diraih. Dengan menyikapi hidup sebagai arena perjuangan, pembelajaran, pertemanan dan berbagi tanpa henti, niscaya kebahagiaan  hidup itu akan tampak realistis dan bisa dicapai segera tanpa perlu menunggu sukses atau kaya lebih dulu

Stoltz mengatakan bahwa ada 4 dimensi pada AQ:

Control                perasaan mampu untuk mempengaruhi situasi secara positif, dan mampu berada dalam control diri sendiri dan memberikan respon terhadap situasi
Ownership          mengambil tanggung jawab pada sendiri untuk merubah situasi
Reach                   mampu berada di tempat ataupun di situasi-situasi dalam situasi pekerjaan ataupun kehidupan
Endurance          mampu berpresepsi terhadap tekanan dan kapan situasi tertekan itu akan berakhir

John Gray (2001) mengatakan “semua kesulitan sesungguhnya merupakan kesempatan bagi jiwa kita untuk tumbuh”. Adapun dimensi yang terkait dengan kecerdasan menghadapi kesulitan adalah: (1) control atau kendali mempertanyakan berapa banyak kendali yang anda rasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan?; (2) origin dan ownership mempertanyakan dua hal, yakni: siapa atau apa yang menjadi asal usul kesulitan, dan sampai sejauhmanakah seseorang mengakui akibat kesulitan itu?; (3) reach atau jangkauan mempertanyakan sejauhmana kesulitan akan menjangkau atau merembes ke bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang?; (4) endurance atau daya tahan mempertanyakan dua hal, yakni; berapa lamakah kesulitan berlangsung dan lamanya penyebab kesulitan tersebut akan bertahan?
Kecerdasan menghadapi kesulitan tersebut dapat ditingkatkan atau dapat diperbaiki dengan melakukan hal-hal sebagai berikut; (1) listen atau dengarkanlah respons terhadap kesulitan ; (2) explore atau jajaki asal usul dan pengakuan atas akibatnya; (3) analysis bukti-buktinya; dan (4) do atau lakukan sesuatu. Magnesen (2000) mengatakan bahwa; “90% pemahaman belajar diperoleh dari melakukan sesuatu. Konfusius lebih dari 2400 tahun silam menyatakan, bahwa; “yang saya dengar saya lupa, yang saya lihat sangat ingat, dan yang saya kerjakan saya paham.” Namun sayangnya praktek pendidikan dan pembelajaran baik yang dilakukan oleh orang tua, guru dan masyarakat belum sampai pada proses pembelajaran yang mengajarkan kepada anak dan siswanya bagaimana menghadapi kesulitan (adversity quotient).
Masih sering kita temukan pola asuh, pendidikan oleh orang tua terhadap anaknya dilaksanakan dengan cara memanjakannya. Kita lupa bahwa pola asuh dan pendidikan dengan memanjakan anak (spoiling) adalah merusak atau membuat ia tidak berdaya, Martin Seligman menyebutnya sebagai proses ketidakberdayaan atau pembodohan yang dipelajari. Akibatnya masih banyak anak kita yang sudah dewasa dan bahkan sudah sarjana ketika dihadapkan pada masalah yang menurut kita sangat sederhana tidak mampu mereka atasi dan masih meminta bantuan orang lain terutama pada kedua orang tuanya.
Untuk mengukur seberapa besar ukuran AQ kita, maka dapat dihitung lewat uji ARP (Adversity Response Profile). Terdapat sejumlah pertanyaan yang kemudian dikelompokkan kedalam unsur Control, Origin and Ownership, Reach dan Endurance, atau dengan akronim CO2RE. Dari situ barulah kemudian akan didapat skor AQ kita, dimana bila skor (0-59) adalah AQ rendah, (95-134) adalah AQ sedang, (166-200) adalah AQ tinggi. Skor (60-94) adalah kisaran untuk peralihan dari AQ rendah ke AQ sedang dan kisaran (135-165) adalah peralihan dari AQ sedang ke AQ tinggi.
Untuk merubah kemampuan AQ kita, lebih lanjut Stoltz menyarankan untuk mulai memperhatikan respons dari situasi yang sulit.
Secara umum AQ manusia ditetapkan oleh 4 prinsip:
AQ membuat manusia untuk bisa bertahan pada tekanan dan bagaimana mengatasi tekanan tersebut.
AQ membuat manusia mampu menyelesaikan permasalahannya terkait dengan tekanan yang diterima dan seberapa parah tekanan itu akan berefek/berpengaruh terhadap kehidupan.
AQ membuat manusia untuk berpikir lebih dari harapannya untuk bias menunjukkan potensi-potensi yang dimiliki.
AQ membuat manusia memprediksi kapan dia akan menyerah dan kapan dia akan mampu mengatasi tekanan.

AQ dapat digunakan untuk memprediksi kemapuan seseorang kaitannya dengan:
Dayaguna seseorang, motivasi,
Memberikan kewenangan terhadap seseorang kreativitas,
Produktivitas
Pembelajaran
Pengharapan
Vitalitas
Kegembiraan dan kesenangan seseorang
Kesehatan emosional
Kesehatan fisik
Ketekunan
Sikap
Harapan hidup seseorang
Respon terhadap perubahan

2    Adversity Quotient dalam Pendidikan
Manusia pada prinsipnya dilahirkan untuk memiliki sifat mendaki.  Pendakian ini maknanya adalah bergerak untuk mencapai tujuan hidup kedepan. Maka Adversity Quotient (AQ) adalah penentu kesuksesan seseorang untuk mencapai puncak pendakian. Secara naluri, dalam proses untuk melakukan pendakian akan dihadapkan pada berbagai hambatan, tantangan dan kesulitan. Semuanya ini tidak cukup diselesaikan dengan hanya bermodalkan kecerdasan intelektual tetapi juga perlu dengan bantuan  kecerdasan emosional. Maka AQ memperlihatkan bagaimana seseorang merespon kesulitan serta perubahan-perubahan yang dihadapinya.
Orang yang memiliki AQ tinggi tidak akan pernah takut dalam menghadapi berbagai tantangan dalam proses pendakiannya. Bahkan dia akan mampu untuk mengubah tantangan yang dihadapinya dan menjadikannya sebuah peluang

Untuk  memberikan gambaran, Stoltz meminjam  terminologi  para pendaki gunung. Dalam hal ini, Stoltz membagi para pendaki gunung menjadi tiga bagian:
Quitter (yang menyerah). Para   quitter   adalah para pekerja yang  sekadar untuk bertahan hidup). Mereka ini gampang putus asa dan menyerah di tengah jalan. Quitters. Adalah orang yang langsung berhenti di awal pendakian. Mereka cenderung untuk selalu memilih jalan yang lebih datar dan lebih mudah. Mereka umumnya bekerja sekedar untuk hidup, semangat kerja yang minim, tidak berani mengambil resiko, dan cenderung tidak kreatif. Umumnya tidak memiliki visi yang jelas serta berkomitmen rendah ketika menghadapi tantangan dihadapan. Dalam kaitannya dengan dunia pendidikan dapat kita kategorikan peserta didik yang hanya menerima pembelajaran ataupun tugas-tugas yang diberikan oleh guru dan mengerjakannya dengan motivasi yang rendah. Dengan kata lain tipe peserta didik ini memiliki kemampuan mengahadapi tekanan terhadap beban belajar yang rendah.
Camper  (berkemah di tengah  perjalanan) Para   camper  lebih baik, karena  biasanya  mereka  berani melakukan pekerjaan yang berisiko, tetapi tetap mengambil  risiko yang  terukur dan aman. Orang-orang ini sekurang-kurangnya sudah merasakan tantangan, dan selangkah lebih maju dari para quitters. Sayangnya banyak potensi diri yang tidak teraktualisasikan, dan yang jelas pendakian itu sebenarnya belum selesai. Campers. Adalah orang yang berhenti dan tinggal di tengah pendakian. Mendaki secukupnya lalu berhenti kemudian mengakhiri pendakiannya. Umumnya setelah mencapai tingkat tertentu dari pendakiannya maka fokusnya berpaling untuk kemudian menikmati kenyamanan dari hasil pendakiannya. Maka banyak kesempatan untuk maju menjadi lepas karena fokus sudah tidak lagi pada pendakian. Sifatnya adalah satisficer, merasa puas diri dengan hasil yang sudah dicapai. Kaitannya dengan dunia pendidikan peserta didik yang tergolong di tipe ini biasanya memiliki kemampuan untuk menerima tekanan dan beban belajar, namun seringkali mereka tidak menyelesaikan tugas dan beban belajarnya dengan baik.
Climber (pendaki yang mencapai  puncak). Para climber, yakni  mereka,  yang dengan segala keberaniannya menghadapi risiko, akan  menuntaskan pekerjaannya. Mereka mampu menikmati proses menuju keberhasilan, walau mereka tahu bahwa akan banyak rintangan dan kesulitan yang menghadang. Namun, di balik kesulitan itu ia akan mendapatkan banyak kemudahan.”Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”. Climbers. Orang yang berhasil mencapai puncak pendakian. Mereka senantiasa terfokus pada usaha pendakian tanpa menghiraukan apapun keadaan yang dialaminya. Selalu memikirkan berbagai macam kemungkinan dan tidak akan pernah terkendala oleh hambatan yang dihadapinya. Mundur sejenak adalah proses alamiah dari pendakian, dan mereka senantiasa mempertimbangkan dan mengevaluasi hasil pendakiannya untuk kemudian bergerak lagi maju hingga puncak pendakian tercapai. Dalam dunia pendidikan peserta didik di level ini (climbers) adalah peserta didik yang mampu menerima tekanan dan beban belajar, mencari dan mengembangkan, dan menyelesaikan tugas dan beban belajarnya dengan baik tanpa meninggalkan perasaan tertekan atau mampu bertahan terhadap tekanan.

Dalam konteks ini, para climber dianggap memiliki AQ tinggi. Dengan kata lain, AQ membedakan antara para climber, camper, dan  quitter  

Quitter = Fisiologi: lapar, haus, tidur
Quitter = Keamanan: bertahan hidup, seperti perlindungan dari perang dan keamanan.
Camper = Cinta dan rasa memiliki: kasih saying dan perhatian dari orang lain.
Harga diri: menghargai diri sendiri.
Climber = Aktualisasi diri: realisasi potensi diri.

Dikaitkan antara AQ dengan piramida motivasi Maslow adalah, untuk quitters berada pada tingkat fisologi saja. Untuk Campers hanya sampai pada tingkat keamanan saja. Sedangkan untuk Climbers sudah mencakup keseluruhan piramida dari fisiologi sampai aktualisasi diri.
 Ketika akhirnya Thomas Alva Edison (1847 – 1931)  berhasil menemukan baterai yang ringan dan tahan lama, dia telah melewati 50.000 percobaan dan bekerja selama 20 tahun. Tak heran kalau ada yang  bertanya, “Mr. Edison, Anda telah gagal 50.000 kali, lalu apa  yang membuat Anda yakin bahwa akhirnya Anda akan berhasil?” Secara spontan Edison langsung menjawab, “Berhasil? Bukan hanya berhasil, saya telah mendapatkan banyak hasil. Kini saya tahu 50.000 hal yang tidak berfungsi!”
 Jawaban luar biasa dari pencipta lampu pijar itu menjadi salah satu  contoh  ekstrem seorang climber (pendaki)–yang dianggap memiliki kecerdasan mengatasi kesulitan (adversity quotient, AQ) tinggi. Terminologi AQ memang tidak sepopuler kecerdasan  emosi (emotional  quotient) milik Daniel Goleman, kecerdasan  finansial  (financial  quotient) milik Robert T. Kiyosaki, atau kecerdasan eksekusi (execution quotient) karya Stephen R. Covey.
AQ ternyata bukan sekadar anugerah yang bersifat  given. AQ ternyata bisa dipelajari. Dengan latihan-latihan  tertentu, setiap orang  bisa diberi pelatihan untuk meningkatkan level AQ-nya.
Manusia sejati adalah manusia yang jika menempuh perjalanan yang sulit, mereka selalu optimis; sedangkan jika mereka melewati perjalanan yang mudah mereka malah khawatir
Dalam dunia pendidikan, hanya para climbers-lah yang akan mendapatkan kesuksesan dan keberhasilan. Sebuah penelitian yang dilakukan Charles Handy-seorang pengamat ekonomi kenamaan asal Inggris terhadap ratusan orang sukses di Inggris memperlihatkan bahwa mereka memiliki tiga karakter yang sama. Yaitu, pertama, mereka berdedikasi tinggi terhadap apa yang tengah dijalankannya. Dedikasi itu bisa berupa komitmen, kecintaan atau ambisi untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik. Kedua, mereka memiliki determinasi. Kemauan untuk mencapai tujuan, bekerja keras, berkeyakinan, pantang menyerah dan kemauan untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Dan ketiga, selalu berbeda dengan orang lain. Orang sukses memakai jalan, cara atau sistem bekerja yang berbeda dengan orang lain pada umumnya. Dua dari tiga karakter orang sukses yang diungkapkan Handy dalam The New Alchemist tersebut erat kaitannya dengan kemampuan seseorang dalam menghadapi tantangan

3  Kesimpulan
3.1 Adversity Quotient (AQ) adalah ukuran atau standar yang dipakai untuk menentukan tingkat kemampuan seseorang dalam menghadapi dan bertahan terhadap kesulitan hidup dan tantangan yang dialami.
 3.2 Peranan Adversity Quotion dalam pendidikan adalah membantu siswa untuk tidak mudah menyerah, lebih tahan kemalangan, dan tidak mudah putus asa etrhadap masalah-masalah pendidikan yang dihadapinya.
Quitter. Dalam kaitannya dengan dunia pendidikan dapat kita kategorikan peserta didik yang hanya menerima pembelajaran ataupun tugas-tugas yang diberikan oleh guru dan mengerjakannya dengan motivasi yang rendah. Dengan kata lain tipe peserta didik ini memiliki kemampuan mengahadapi tekanan terhadap beban belajar yang rendah.
Camper  Kaitannya dengan dunia pendidikan peserta didik yang tergolong di tipe ini biasanya memiliki kemampuan untuk menerima tekanan dan beban belajar, namun seringkali mereka tidak menyelesaikan tugas dan beban belajarnya dengan baik.
Climber. Dalam dunia pendidikan peserta didik di level ini (climbers) adalah peserta didik yang mampu menerima tekanan dan beban belajar, mencari dan mengembangkan, dan menyelesaikan tugas dan beban belajarnya dengan baik tanpa meninggalkan perasaan tertekan atau mampu bertahan terhadap tekanan.

4  Saran
Bertolak dari pembahasan dan kesimpulan, maka penulis mengajukan saran-saran sebagai berikut:
Dalam kegiatan belajar di sekolah atau dalam dunia pendidikan, supaya tidak hanya mementingkan IQ, EQ, SQ, saja tetapi juga mengutamakan Adversity Quotien (AQ). Supaya kajian tentang AQ menjadi lebih sempurna, agar dikaji dengan literatur yang lebih banyak lagi.

DAFTAR PUSTAKA
 Djuartono, Sudji. 2001. Adersity Quotient. Dapat ditemukan pada http://www.mail-archive.com/ia-sumatra@millis.plasa.com/msg00597 .html (diakses tanggal 23 JAnuari 2011)
 Hergenhahn, B.r dan Olson, Matthew H. 2008. Theories Of Learning. Teori Belajar. Jakarta; Kencana Prenada Media Group
 McGregor,Sandy. 2003. Peace Of Mind, Menggunakan Kekuatan Pikiran Bawah Sadar untuk Mencapai Tujuan. Jakarta; Gramedia Pustaka Utama
 Amliati, Wa Ode. 2007. Studi Deskriptif Adversity Quotient (AQ) Remaja Sekolah Menengah Atas (SMA) Di Semarang. Dapat ditemukan pada (http://eprints.undip.ac.id/10385) diakses tanggal 23 Januari 2011.
 Santrock, John W. 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta; Prenada Media Group.
 Stoltz, Paul G. 1997. Adversity Quotient. USA.
 Kebahagiaan Hidup dan Adversity Quotient. Dapat ditemukan pada http://umumkompasiana.com/2010/02/10/kebahagiaan/hidup/adversity/quotient/ diakses tanggal 23 Januari 2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar