Kini di era MEA 2015 war for talent antar organisasi telah menjadi kenyataan di depan mata kita. Kebutuhan unit kerja, organisasi dan kepesatan peningkatan perusahaan tidak diiringi ketersediaan penawaran profesional yang sepadan. Hal ini mengakibatkan perang talenta memanas hingga ke level tertinggi. Persaingan perekrutan dan pembajakan talenta profesional bahkan menghadirkan praktik perang talenta di luar batas logika akal sehat. The demands for talent for exceeds supply. Manajemen talenta, tak pelak merupakan salah satu isu prioritas yang paling membuat pusing para eksekutif puncak dewasa ini

Selasa, 16 Desember 2014

Environment Readines – Lingkungan Kerja

Setelah beberapa edisi kita membahas aspek (Talent Identification) dari TEMPO sebagai basis Talent Management, sekarang kita masuk ke aspek kedua yakni Environment Readiness. Saya mendifinisikannya sebagai “Kesiapan lingkungan Kerja dan Keluarga dan komunitas (3K) untuk menjadi lahan yang subur bagi talent untuk tumbuh dan berkembang dengan cepat.”

Dengan definisi tersebut ada tiga hal yang harus diperhatikan agar talent bisa berkembang menjadi STAR di kemudian hari yakni:

1. Lingkungan Kerja: dari kebijakan tingkat atas sampai implementasinya di tingkat operasional

2. Lingkungan Keluarga: termasuk dan tidak terbatas dengan dukungan keluarga inti – istri/suami dan anak-anak, ayah/ibu saudara serta keluarga lain yang mempengaruhinya

3. Lingkungan Komunitas: pertemanan dan pergaulan talent sangat mempengaruhi ‘jadinya’ talent di kemudian hari

Lingkungan Kerja

Aspek ini sangat-sangat penting untuk melahirkan talent dengan STAR quality dan STAR achievement. Banyak orang berpotensi tidak jadi ‘orang’ karena berada di lingkungan yang berbeda (lihat tulisan awal soal TEMPO) sehingga bisa ‘Shock’ atau ‘Surprise’. Sebaliknya banyak orang ‘biasa’ bisa menjadi orang ‘besar’ karena berada di lingkungan yang sangat mendukung.

Ada tiga hal utama dalam lingkungan kerja yang sangat mempengaruhi tumbuhnya talent menjadi Star dan tumbuhnya Star menjadi ‘CEO candidate in the future.’

Pertama, adanya kebijakan yang tegas dan jelas dari CEO perusahaan tentang ‘talent management’ ini. Ini program yang bukan hanya harus di ‘endorse’ tapi dipimpin oleh CEO secara langsung. Tidak boleh didelegasikan ke bagian HRD saja. Kebijakan yang jelas, tertulis dan rinci akan membuat lingkungan kerja menjadi sangat transparan. Siapa yang menjadi talent akan mendapat perlakukan ‘khusus’ misalnya akselerasi promosi, pengembangan, assignment termasuk gaji dan benefit yang ada. Ini harus jelas diketahui oleh semua orang walaupun tidak perlu terbuka siapa yang jadi ‘talent’. Ada banyak kultur yang karena terbukanya, talent menjadi sasaran tembak rekan lain yang tidak termasuk kategori talent. Tapi di kalangan petinggi siapa dan programnya apa harus jelas dan tertata rapi.

Kedua, Atasan calon yang terpilih sebagai ‘talent’ harus aktif terlibat dalam pengembangan si calon. CEO harus terlibat, atasan langsung harus menjadi mentor yang baik. Sering terjadi talent tidak berkembang karena atasan langsung tidak mendukung si calon karena memiliki ‘anak emas’ lain yang dipersiapkan menggantikan dirinya. Ini tidak boleh terjadi. Sekali diputuskan bersama di tingkat atas, semua atasan langsung yang terlibat harus mendukung walaupun secara individual ia tidak menyetujui si talent. Dukungan atasan langsung akan membuat si talent menjadi ‘well accepted’ dan berani melakukan apa saja agar tidak mengecewakan para atasan yang sudah memilihnya sebagai talent.

Ketiga, lingkungan dalam skala organisasi juga harus mendukung. Artinya sudah disiapkan bahwa di perusahaan ini yang berlaku sistem ‘meritokrasi’ bukan ‘senioritas’. Siapa yang berpotensi tinggi akan bisa naik ke posisi tinggi tanpa menunggu urut kacang. Dalam praktek implementasinya, dalam menyusun Replacement Table Chart (RTC) atau bagan suksesi di tiap kotak organisasi, atasan tidak boleh hanya melihat orang di bagiannya, ia harus melihat seluruh ‘pool of talent’ yang ada di seluruh organisasinya. Ia harus memilih kader pengganti dari ‘the best of the best in the organization.’ Ini berarti konsep ‘cross rotation’ harus diterima sebagai hal wajar. Ini konsep lingkungan yang amat penting. Kalau setiap divisi atau fungsi hanya memikirkan karyawan dari fungsi atau divisinya dalam rencana suksesi maka program talent management ini akan berjalan tertatih-tatih.

Tidak mudah memang menciptakan lingkungan kerja yang mendukung lahirnya para STAR, tapi justru di sinilah daya saing perusahaan ini di pasar tenaga kerja. Itu sebabnya ‘environment readiness’ ini adalah permainan orang tingkat atas. It is CEO Game. “Do you dare to foster the environment that support talent to grow up or not.”

Untuk direnungkan :

1. Apakah perlu menciptakan lingkungan bagi seorang talent agar menjadi Star atau karena ia calon star bisa mencipatkan lingkungan yang akan mendukungnya menjadi Star ?

2. Seorang Star harus bisa berkembang di kondisi apapun dan dalam lingkungan apapun. Dia akan berenang sendiri walau tanpa pelatih. Apakah Anda setuju dengan hal itu ?

3. Kalau talent menagement ini tidak didukung oleh CEO tapi merupakan inisiatif HR, apa yang semestinya dilakukan oleh HR agar program ini didukung CEO?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar