Apa yang dipikirkan seorang CEO Partner sewaktu melakukan refleksi akhir tahun seputar dunia profesi yang digelutinya? Apa ukuran keberhasilan yang jujur mau dievaluasi dengan unsur PEMI? CHR adalah garda PEMI. Ini adalah sebuah ‘calling’ dari profesi yang berkaitan dengan Human Being dalam konteks kerja dan pekerjaan. Calling ini nilainya jauh diatas ‘career’ dan penilaian prestasi kerja dari pribadi seperti yang tertuang dalam kontrak kerja atau IPP atau KPI seorang CHR.
Kalau partner lain fokusnya pada products, services, hal fisik dari bangunan, keuangan dan infrastuktur teknologi informasi, CHR fokusnya pada kesuksesan manusia sebagai aktor utama kesuksesan finansial. Sukses material yang tertuang dalam ketiga aspek Balance Score Card seperti financial, customer dan business process harus muncul dari kesuksesan sumber daya manusianya.
Kalau perusahaan disebut sukses karena mencapai target material tapi sebenarnya manusianya sangat tidak sukses sebagai manusia karena pelanggaran etika, moral dan peraturan adalah bagian dari budaya. Misalnya, target penjualan tercapai tapi manusia penjualnya tertekan karena yang dijual sebenarnya bahan yang mengandung bahaya dan tidak sesuai dengan peraturan entah itu menggunakan formalin, bahan pewarna buat pakaian atau bahan additif pencegah kerusakan yang berbahaya bagi pengguna dalam jangka panjang, maka ini adalah sukses semu. Sukses material tapi tidak sukses dalam tolak ukur CHR.
Manusia yang tertekan karena dituntut dan dituntun melakukan pelanggaran guna meraih target pemasaran, keuangan, produksi adalah kegagalan CHR sebagai garda mereka sebagai manusia. CHR harus tahu posisinya. Tidak serta merta menjadi ‘business partner’ atau ‘operation partner’ itu harus mendukung mereka melakukan segala cara termasuk di dalamnya menghalalkan yang haram. Ada pilar yang harus ditegakkan, dan kalau hal prinsip itu yang tertuang dalam konteks PEMI itu dilanggar oleh orang operasi, CHR harus berani menolak. Bukan hanya ‘agree to disagree’ tapi ‘disagree to stop the process to go’.
Dalam konteks manusia ini berarti CHR harus memiliki fokus pada manusia sebagai pemimpin dan manusia yang dipimpin. Keduanya memiliki fokus yang berbeda walaupun secara fundamental memiliki dasar yang sama yakni manusia seutuhnya. Refleksi CHR harus mencakup SDM dengan kedua peran tersebut. Evaluasi CHR atas manusia sebagai pemimpin adalah :
Apakah manusia yang memiliki peran sebagai pemimpin :
1. Senantiasa berorientasi dan mengupayakan bawahnya tidak kekurangan. Dalam arti sempit, kesejahteraan material tercukupi. Dalam arti yang lebih luas, kesejahteraan batiniah juga tercukupi.
2. Mengupayakan bersama para bawahan agar bisnis yang dijalaninya senantiasa bertumbuh dan berkembang seperti padang rumput hijau bagi kawanan domba. Mengupayakan pertumbuhan bisnis adalah tanggung jawab pimpinan yang paling hakiki agar dapat memberi kesejahteraan secara terus menerus bagi seluruh karyawan.
3. Mengusahakan pertumbuhan dan keuntungan usaha yang stabil, dimaksudkan untuk dinikmati bersama, seperti domba yang dibaringkan di padang yang berumput hijau. Kekayaan perusahaan bukan hanya untuk pimpinan dan pemilik, tapi untuk seluruh kesejahteraan karyawan.
4. Merencanakan para bawahan tetap segar, harus terus diupayakan pengembangan sistem dan pribadi agar karyawan tetap dalam posisi terbaik menghadapi persaingan.
5. Mengerti arah jalan yang benar yang harus ditempuh para domba. Memberi petunjuk jalan yang harus ditempuh dan mampu menuntun mereka ke jalan yang benar adalah tugas yang tak boleh didelegasikan ke domba yang lain.
6. Membantu saat mereka dalam kesulitan-kesulitan, karena justru dalam lembah kekelaman itulah fungsi gembala menjadi semakin tampak.
7. Senantiasa menyiapkan gada dan tongkat buat dombanya. Artinya, semua sarana perusahaan untuk memberikan dukungan yang paling maksimal bagi bawahan agar sukses di lapangan. Dukungan infrastruktur, sistem yang menunjang, perlengkapan yang pantas, agar bawahan memiliki seluruh senjata untuk menghadapi segala macam musuh yang akan menemui mereka.
8. Menyediakan hidangan bagi para bawahan dihadapan para lawan mereka. Memperhatikan aspek jasmani dan rohani yang cukup agar mereka mampu bersaing dengan baik. Lawan yang tangguh dapat dengan mudah dikalahkan oleh prajurit yang tangguh. Tangguh secara mental, moral dan fisik. Kesejahteraan bawahan adalah hal amat penting agar bawahan terus mempunyai motivasi tinggi untuk muncul sebagai pemenang di setiap pertempuran.
9. Mengurapi kepala bawahan dengan minyak dan membuat piala mereka penuh melimpah. Memotivasi, meningkatkan semangat, memberi umpan balik untuk perbaikan dan memompa keyakinan adalah tugas yang amat penting bagi seorang gembala yang ingin dombanya tetap tangguh dan kuat. Merendahkan, menghina, meremehkan dan memarahi tanpa solusi merupakan tindakan ceroboh yang justru membuat bawahan semakin kecil hati.
10. Senantiasa mengupayakan kebajikan dan kemurahan mengikuti seumur hidup bawahan dan menyediakan tempat kediaman yang paling baik agar para domba merasa kerasan dan aman tinggal bersama mereka. Tidak hanya pada saat bawahan muda dan kuat, tapi justru pada saat mereka tua dan lemah, program kesejahteraan semakin dibutuhkan.
Kini di era MEA 2015 war for talent antar organisasi telah menjadi kenyataan di depan mata kita. Kebutuhan unit kerja, organisasi dan kepesatan peningkatan perusahaan tidak diiringi ketersediaan penawaran profesional yang sepadan. Hal ini mengakibatkan perang talenta memanas hingga ke level tertinggi. Persaingan perekrutan dan pembajakan talenta profesional bahkan menghadirkan praktik perang talenta di luar batas logika akal sehat. The demands for talent for exceeds supply. Manajemen talenta, tak pelak merupakan salah satu isu prioritas yang paling membuat pusing para eksekutif puncak dewasa ini
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar