Padanan ‘Big Surprise’ adalah ‘Big Shock’ artinya yang kita kira Talent kelas ‘star’ atau ‘kelas nomor satu,’ ternyata setelah diuji di lapangan kinerjanya biasa saja. Atau calon kader yang ‘sangat mumpuni’ dan ‘kelas wahid’ ternyata setelah jadi jendral kecil, sudah mulai menunjukkan karakter yang ‘sok’ dan ‘merasa paling pinter dan dibutuhkan’ sehingga akhirnya digergaji bawahannya alias terjungkal karena kejumawaannya sendiri.
Kejadian tersebut banyak terjadi. ‘Big Shock’ terjadi karena kita ‘over estimate’ terhadap potensi calon atau calon ‘over estimate’ terhadap kemampuannya sendiri. Banyak yang gagal karena memang kapasitasnya sampai pada ‘level of incompetence’ setelah menapaki tangga tertentu tapi 65% atau dua pertiganya ‘gagal’ karena soal ‘karakter.’ Ini yang paling menyedihkan. Baru mencapai titik puncak kecil sudah terpaksa dilengserkan karena sudah berperilaku seperti CEO besar.
Berikut ini, ada lima alasan terjadinya ‘big shock’ yang perlu disikapi dan disiasati dengan baik sehingga prosentasi kegagalan di perusahaan Anda tidak besar karena belajar kesalahan dari orang lain.
Pertama, calon yang berpotensi memilih tidak menjadi orang nomor satu dan memilih jadi warga biasa saja dengan berbagai alasan pribadi (Calling Barrier)
Tini, nama samaran, yang pernah saya identifikasi bisa menjadi salah satu potensial CEO atau setidaknya ‘leader’ untuk business unit. Tahun pertama, dilaluinya dengan apik dan saya masih yakin bahwa ia memang punya potensi menjadi pemimpin bisnis di masa mendatang. Setelah berjalannya waktu, setidaknya lima tahun kemudian, ternyata Tini sangat ‘enjoy’ dengan posisinya sebagai ‘the first lady’ alias orang kedua atau bagian ‘supporting function’. Akibatnya, pengembangan yang sudah direncanakan harus diubah arah karena Tini memilih jadi orang lain. Dia tidak begitu yakin mampu menjadi orang nomor satu. Dia bahagia menjadi orang nomor dua dan tiga, ini yang membuat dia memilih meniti jalur ini. Ini alasan pertama mengapa sering kader lini potensial menjadi kader fungsi karena yang bersangkutan dengan kesadarannya sendiri, memilih untuk tidak menjadi orang nomor satu dengan berbagai alasan pribadinya.
Kedua, calon yang sudah ‘cukup’ sukses di tingkat menengah, gagal karena ‘karakter’nya. Artinya setelah jadi ‘jawara di tengah’ sudah merasa ‘indispensable’ akibatnya jatuh karena ‘arogansi’ bukan karena ‘kompetensi’ (Character Barier).
Tono, terbilang manusia yang memiliki kompetensi khusus di bidang rekayasa. Sangat ahli dan menjadi satu-satunya yang diandalkan di perusahaannya. Begitu uniknya, sehingga ia merasa ia adalah manusia yang paling tahu di bidangnya. Bukan hanya bawahannya, atasannya pun sering ‘dilibas’ atau di ‘bypass’ atau ‘disepelekan,’ karena ia menganggap dirnya paling tahu. Akibatnya, ia terjungkal oleh ulahnya sendiri.
Ketiga, calon menunjukkan kehebatannya pada lima sampai sepuluh tahun pertama sehingga terus di ‘stretch’ untuk naik ke atas dengan program percepatan posisi dan pangkat, ternyata setelah sampai level tertentu ia seperti sudah kehilangan arah. Kinerja dan kompetensi menjadi plateau, sepertinya ia berada pada ‘level of incompetence’ (Competencies Barrier).
Bagi banyak ahli, ini disebabkan oleh program percepatan yang terlalu dipaksakan padahal secara natural calon belum siap untuk menduduki posisi tertentu atau mengerjakan tugas dengan kompetensi tertentu. Mengembangkan orang harus melihat faktor kemampuan serap otak dan watak juga, kalau tidak calon yang bagus bisa kehabisan napas di tengah jalan dan akhirnya divonis tidak mampu.
Masih banyak lagi alasan mengapa terjadinya ‘big shock’, tentu ini yang harus dipelajari dengan baik agar sewaktu identifikasi calon sudah dipertimbangkan soal Calling, Character dan Competencies. Semakin tajam menggali 3C ini akan semakin sukses program pengembangannya. Ini yang akan kita bahas selanjutnya, mengidentifikasi Calon Kader dengan teknik 3C : Calling, Character and Competencies.
Kini di era MEA 2015 war for talent antar organisasi telah menjadi kenyataan di depan mata kita. Kebutuhan unit kerja, organisasi dan kepesatan peningkatan perusahaan tidak diiringi ketersediaan penawaran profesional yang sepadan. Hal ini mengakibatkan perang talenta memanas hingga ke level tertinggi. Persaingan perekrutan dan pembajakan talenta profesional bahkan menghadirkan praktik perang talenta di luar batas logika akal sehat. The demands for talent for exceeds supply. Manajemen talenta, tak pelak merupakan salah satu isu prioritas yang paling membuat pusing para eksekutif puncak dewasa ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar