Kini di era MEA 2015 war for talent antar organisasi telah menjadi kenyataan di depan mata kita. Kebutuhan unit kerja, organisasi dan kepesatan peningkatan perusahaan tidak diiringi ketersediaan penawaran profesional yang sepadan. Hal ini mengakibatkan perang talenta memanas hingga ke level tertinggi. Persaingan perekrutan dan pembajakan talenta profesional bahkan menghadirkan praktik perang talenta di luar batas logika akal sehat. The demands for talent for exceeds supply. Manajemen talenta, tak pelak merupakan salah satu isu prioritas yang paling membuat pusing para eksekutif puncak dewasa ini

Senin, 15 Desember 2014

Talent Identification – Big Surprise

Kalau mau jujur, sering kita dikagetkan oleh fakta di lapangan bahwa apa yang terpikir di benak sangat berbeda dengan yang kita lihat beberapa tahun kemudian di lapangan.

Misalnya ada karyawan yang kita anggap biasa saja atau ‘just above average’ sehingga tidak masuk ‘talent’ ternyata ketika ia pindah ke tempat lain mampu menembus batas tembok posisi dan menduduki kursi CEO. Atau lebih mengagetkan lagi, karyawan yang dengan berat hati harus kita ‘minta mengundurkan diri karena masalah kinerja atau karakter’, ternyata lima tahun kemudian menjadi salah satu pelanggan besar karena sukses sebagai pengusaha. Ini satu ‘big surprise’ yang tidak nyaman bagi kita yang masih ada di lingkungan perusahaan.

Kalau yang keluar dari perusahaan adalah ‘talent’ entah karena iming-iming gaji, fasilitas atau promosi jabatan di tempat lain dan ternyata lima tahun kemudian jadi ‘orang’ di sana, kita tidak akan terkejut karena itu sesuai dengan keyakinan kita bahwa ia adalah ‘talent’ yang baik. Tidak membuat ‘surprise’ walaupun tetap kecewa kenapa kita tidak mampu me’retain’ dan me ‘maintain’ ‘talent’ yang berpotensi jadi ‘top executives’ ini.

Kita akan mengalami ‘Big Surprise’ karena tidak menduga bahwa karyawan yang tidak masuk dalam kategori ‘talent’ ternyata mampu menjadi CEO atau ‘top executive’ di perusahaan lain yang kadang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan kita. Lalu, dengan teliti kita melakukan evaluasi di dalam – ‘Apa yang salah dengan ‘talent identification’ kita ?

Berdasarkan pengalaman pahit tersebut, saya menyimpulkan setidaknya ada lima ‘kekeliruan’ yang kita lakukan sehingga tidak bisa melihat ‘talent’ :

Pertama, perusahaan tidak memiliki kriteria yang jelas dengan apa yang disebut talent. Bahkan sering kabur antara potensi, kompetensi dan kinerja. Banyak CEO yang melihat karyawan berdasarkan hasil penilaian karya tahunan. Dan berdasarkan hasil penilaian kinerja tersebut dikelompokkan menjadi ‘talent’ dan ‘non talent. Ini kesalahan mendasar yang masih terjadi dalam debat antar CEO antara kinerja dan kompetensi, kompetensi dan potensi serta kinerja dan potensi. Ini sering menimbulkan ‘kesalahan fatal’. Seseorang yang tidak berkinerja baik pada suatu kurun waktu tertentu dan untuk suatu gugus tugas tertentu belum tentu bukan orang yang berpotensi ketika diberikan tugas di tempat lain. Ini saya sebut sebagai “Criteria Error”

Kedua, penilaian ‘talent’ dilakukan hanya oleh atasan langsung dengan faktor subjektivitas personal yang amat tinggi. Kecenderungan orang menilai berdasar dirinya sendiri sangat besar. Ini yang menyebabkan terjadinya bias. Karyawan yang tidak ‘disenangi’ atasan langsungnya karena berbeda ‘karakter’ akan mendapat penilaian potensi lebih rendah dibandingkan dengan karyawan dengan karakter sama dan disenangi atasan. Seharusnya atasan yang baik harus mempu membedakan antara potensi, kompetensi seseorang dengan hubungan baik atau relasi dengan dirinya. Tapi banyak kali, atasan yang tidak mendapat bimbingan yang cukup untuk mengidentifikasi calon, terkena bias ini. Ini saya sebut sebagai ‘human error.’

Ketiga, ada pula kemungkinan terjadi pada ‘pool of talent’ artinya di suatu divisi banyak terdapat ‘potential talent’. Namun karena keharusan penerapan ‘normal curve’ dalam penilaian kinerja menyebabkan kinerja relatif harus ada yang mendapat istimewa, baik sekali dan harus ada yang dikorbankan menjadi biasa saja. Ketika kalkulasi matriks potensi/kompetensi dan kinerja dipasangkan, maka karyawan tersebut yang terkena ‘forced normal distribution’ agar terdegradasi menjadi karyawan di atas rata rata saja. Ini saya sebut sebagai “mathematical error.”

Keempat, banyak terjadi salah ‘placement’ baik yang dikarenakan salah pilih posisi oleh calon sendiri dan salah penempatan oleh pimpinan. Ketika terjadi ‘mismatch’ ini akan mempengaruhi baik kinerja calon maupun peningkatan potensi calon. Salah tempat membuat mutiara terkubur dan banyak kali tidak mampu di ‘unleash’ lagi. Ini yang menyebabkan kita terkejut, ketika calon yang salah tempat ini pindah perusahaan dan menjadi ‘bintang’ di perusahaan baru di jabatan baru. Ini saya sebut sebagai “placement error.”

Kelima, salah identifikasi juga terjadi pada calon yang ‘eksentrik’ atau ‘intovert’ – dua ciri yang berbeda jauh. Acap kali yang terlalu urakan, nyentrik, tidak bisa diatur dan eksentrik dikategorikan sebagai ‘problem employee’ bukannya sebagai ‘potential breakthrougher.’ Apalagi ditambah dengan karakter petinggi SDM dan atasan langsung yang tergolong manusia ‘risk averter,’ maka orang yang di luar pakem sering tidak ditangkap memiliki daya lebih.

Kasus yang terkenal soal Bill Gates yang memang sangat ekstentrik sehingga karyanya ditolak IBM yang membuatnya harus melahirkan karyanya sendiri. Microsoft tidak akan terjadi kalau petinggi IBM tersebut melihat potensi Bill dan merekrutnya sebagai programmer andalannya. Kasus yang sama menimpa Steve Jobs, karena eksentriknya sampai ‘tidak dirangkul’ dengan baik oleh Atari tapi merangkul dan dirangkul dengan baik oleh Wozniak yang membuat Apple Computer lahir. Ini saya sebut sebagai ‘Perception Error.’

Kelima kesalahan itu menyebabkan banyak perusahaan yang ‘salah’ dan ‘keliru’ melihat ‘talent’ yang sebenarnya bertaburan di perusahaannya. Apalagi kalau ditambah dengan CEO yang sama sekali tidak ‘CARE’ soal ini. Identifikasi hanya menjadi ritual tahunan yang menyebalkan. Kalau sudah begini, kesalahan identifikasi menjadi sangat besar.

Untuk direnungkan :

1. Seberapa banyak Anda sudah pernah melakukan ‘kekeliruan’ dalam menilai karyawan? Yang Anda kira ‘talent’ ternyata cuman ‘jago kandang’ sedangkan yang dikira ‘medioker’ ternyata jadi ‘star’ di perusahaan pesaing?

2. Dari kelima kesalahan itu, mana yang secara korporat terjadi di perusahaan Anda? Bagaimana Anda memperbaiki kesalahan ini di kemudian hari?

3. Seberapa jauh pengaruh komitmen CEO terhadap kesalahan identifikasi semacam ini?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar