Kini di era MEA 2015 war for talent antar organisasi telah menjadi kenyataan di depan mata kita. Kebutuhan unit kerja, organisasi dan kepesatan peningkatan perusahaan tidak diiringi ketersediaan penawaran profesional yang sepadan. Hal ini mengakibatkan perang talenta memanas hingga ke level tertinggi. Persaingan perekrutan dan pembajakan talenta profesional bahkan menghadirkan praktik perang talenta di luar batas logika akal sehat. The demands for talent for exceeds supply. Manajemen talenta, tak pelak merupakan salah satu isu prioritas yang paling membuat pusing para eksekutif puncak dewasa ini

Senin, 23 Februari 2015

Dari Buruh ke Human Capital, Apa Bedanya?

Ungkapan buruh, pegawai dan karyawan pada dasarnya sama esensinya. Yakni mereka bekerja pada orang lain dan mendapat gaji secara reguler (harian, mingguan, atau pun tahunan). Hanya memang istilah buruh sering diidentikkan dengan pekerjaan level bawah, dan terutama diberlakukan untuk industri manufaktur (pabrik) dan pertambangan. Istilah yang sama juga sering dipakai dalam dunia politik (misalnya kita mengenal partai buruh di Inggris atau Australia). Di samping itu, "buruh" juga lebih familiar untuk mereka yang beraliran “kiri”, sebab para pendiri paham sosialisme semacam Karl Marx memakai istilah ini untuk mengkontraskan dengan pemilik modal (kapitalis).


Istilah human resources (sumber daya manusia) mulai berkembang pada tahun 80-an untuk menggantikan kata “personnel” (dulu dikenal nama departemen personalia, sekarang berubaha nama menjadi departemen sumber daya manusia). Perubahan istilah ini diharapkan tidak untuk keren-kerenan saja; namun lebih menyangkut perubahan filosofi dan paradigma. Jika dulu ketika masih menggunakan nama departemen personalia, urusan karyawan hanya menyangkut segi administrasi belaka. Artinya, aspek-aspek strategis yang menyangkut pengembangan karyawan tidak dipandang secara sungguh-sungguh. Sekarang, ketika berganti nama menjadi Human Resources, diharapkan pengelolaan karyawan benar-benar ditempatkan dalam kerangka besar strategi perusahaan. Begitu juga para pengelolanya, mereka juga diharapkan mampu menjadi strategic partner bagi top management dalam membawa kinerja perusahaan menuju kejayaan sejati.
 
Beberapa tahun terakhir ini, mulai muncul istilah baru yang ”lebih keren”, yakni human capital (sebenarnya istilah ini sudah diperkenalkan sejak 1955 oleh Gary Becker dalam bukunya yang berjudul Human Capital. Melalui buku inilah, Becker kemudian meraih nobel ekonomi).

Lalu apa itu human capital? Intinya, faktor manusia – jika dikelola dengan bagus-- merupakan modal yang mampu memberikan return on investment yang dahsyat, dan memiliki “harga” yang jauh lebih mahal dibanding aset fisik seperti pabrik dan tanah. Sebagai contoh, Microsoft dan Google memiliki aset yang jauh lebih sedikit dibanding misalnya, Boeing atau Ford, namun nilai saham perusahaan mereka jauh lebih tinggi (hal ini tentu dikarenakan, Microsoft dan Google memiliki modal manusia –inovasi/kreativitas, modal otak– yang jauh lebih unggul).

Hanya saja, banyak orang yang agak “rikuh” dengan ungkapan Human Capital ini. Beberapa waktu lalu, salah seorang profesor dari Universitas Airlangga, Surabaya –dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besarnya– mempersoalkan ungkapan human capital ini. Menurutnya, istilah ini kesannya menyamakan manusia dengan modal finansial (kapital); seolah-olah setiap individu harus dikuantifikasi dan diukur imbalannya berdasar indikator keuangan perusahaan.

Menurut saya, pokok persoalannya mungkin lebih pada “rasa bahasa”. Karena kata ”capital” selama ini identik dengan uang, dengan sesuatu yang cenderung materialistik, maka menggabungkan kata human dengan capital rasanya kok memang jadi kurang ”pas”. Namun, kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi ”modal insani”, maka rasanya menjadi lebih elegan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar