Kini di era MEA 2015 war for talent antar organisasi telah menjadi kenyataan di depan mata kita. Kebutuhan unit kerja, organisasi dan kepesatan peningkatan perusahaan tidak diiringi ketersediaan penawaran profesional yang sepadan. Hal ini mengakibatkan perang talenta memanas hingga ke level tertinggi. Persaingan perekrutan dan pembajakan talenta profesional bahkan menghadirkan praktik perang talenta di luar batas logika akal sehat. The demands for talent for exceeds supply. Manajemen talenta, tak pelak merupakan salah satu isu prioritas yang paling membuat pusing para eksekutif puncak dewasa ini

Minggu, 08 Maret 2015

Bagaimana Melatih Intuitif

"Menyenangkan sekali setiap kali saya bangun dan mencoba mendengarkan apa yang intuisi katakan pagi itu kepada saya. Itu ibarat ide pemberian cuma-cuma dari alam. Saya bekerja dengan intuisi dan mengandalkannya. Intuisi adalah partner kerja ilmiah saya yang luar biasa!” (Jonas Salk, penemu vaksin polio)
Jika Anda penggemar film science fiction, pastilah mudah bagi Anda untuk mengingat kembali sekuel pertama film Man in Black (MIB) yang pernah populer di tahun 1997. Tema film tersebut cukup sederhana. Berkisah tentang dua agen rahasia, agen K (diperankan Tommy Lee Jones) serta agen J (diperankan Will Smith), yang bertugas untuk mengawasi sepak terjang para makhluk UFO di bumi. Tugas utama mereka adalah menyalamatkan bumi dari para alien yang bermaksud menghancurkan bumi.
Yang paling menarik, dalam seri pertama film tersebut terdapat kisah mengenai bagaimana awal mula agen J (Will Smith) pertama kali direkrut. Dalam suatu tes ‘eliminasi’ yang menarik, ia diharuskan mengambil keputusan menembak salah satu mahkluk yang menurutnya berbahaya. Dalam gambar makhluk yang disediakan, ternyata ada banyak sekali makhluk alien yang jelek sekali rupanya. Justru, hanya ada satu diantara mahkluk itu yang bagus rupanya, yakni yang berupa wujud seorang gadis kecil. Logika Will Smith mengatakan yang harus ditembak adalah makhuk-makhluk alien yang tampak paling ganas dan paling jelek rupanya. Namun sejenak intuisinya berkata lain. Ia merasa ada yang tidak beres dengan anak kecil itu. Maka, senjatanyapun ia arahkan ke gadis kecil itu. Voila! Ternyata benar. Wujud anak kecil manis itu ternyata adalah penjelmaan dari makhluk alien amat sadis yang ingin menghancurkan bumi. Will Smith pun lolos dan terpilih menjalankan misi menyelamatkan bumi.


Dalam film Man In Black tersebut, tampaklah bentuk sederhana dari pengambilan keputusan yang didasarkan pada apa yang disebut intuisi. Secara awam, intuisi berasal dari kata Latin ‘intuire’ yang bermakna ‘melihat dan mengetahui dari dalam’. Seperti dalam film tersebut, logika agen Will Smith mengatakan ia harus menembak mahkluk dengan tampang paling mengerikan. Namun, suara batin dari dalam dirinya justru melihat bahwa ada yang tidak beres dengan gadis kecil tersebut. Maka, ketika ia mengikuti suara batinnya, nyatalah ia benar.
Dalam konteks manajemen, cerita ini sebenarnya mirip dengan cerita seorang kepala cabang suatu bank yang merasakan adanya ketidakberesan dengan laporan keuangan yang sebentar lagi akan ia laporkan ke pusat. Di depan dokumen laporan, ia tidak melihat adanya ketidakberesan. Namun, ada dorongan dari dirinya yang membuat ia merasa perlu memeriksa detil beberapa kalkulasi biaya yang dilaporkan. Suara batinnya menuntun ia untuk memeriksa secara detil dan menyeluruh. Dibanding dokumen yang sesungguhnya, akhirnya ia melihat adanya pembulatan-pembulatan yang tidak boleh dilakukan. Sisa-sisa pembulatan, jika dibiarkan bertahun-tahun, dikalikan dengan ratusan ribu nasabah, akhirnya akan menjadi bilangan uang yang cukup banyak. Akhir cerita, ‘suara dari dalam dirinya’ berhasil membongkar suatu konspirasi antara orang IT dengan akuntingnya yang selama ini memasukkan sisa-sisa pembulatan uang ke rekening mereka sendiri. Suatu konspirasi yang akan sulit diungkap jika saja hanya mengandalkan logika belaka.
Cerita ini juga mirip dengan keputusan pertama Djoko Susanto, boss kelompok ritel Alfa yang memutuskan untuk berhenti menjadi kuli borongan dan membangun toko kelontong milik orang tuanya. Intuisinya mengatakan untuk fokus saja pada penjualan rokok. Sementara, secara logika pada waktu itu, jika toko mereka menjual segala macam barang, mungkin hasilnya akan lebih menguntungkan. Namun, justru dengan intuisi berdagang rokok itulah, menjadi cikal bakal kesuksesan Djoko di bidang ritel. Cerita ini juga mirip dengan cerita Martha Tilaar yang setelah kembali ke Indonesia mempunyai ‘keyakinan dari dalam diri’ bahwa ia bisa berhasil di bisnis kosmetik tradisional. Padahal, logika bisnis jamu adalah melawan arus pada waktu itu. Pada era 70-an, ketika Martha Tilaar memulai bisnisnya, image tentang jamu adalah “tidak hiegienis, kotor dan kampungan!”. Toh akhirnya sekarang kita melihat bahwa intuisi Martha Tilaar untuk membangun bisnis kosmetik tradisional ternyata menjadi salah satu legenda keputusan bisnis terbaik di negeri ini.

Semakin ke Atas, Dituntut Semakin Intuitif
Semua kisah di atas, merupakan bukti sederhana bagaimana intuisi berperan besar dalam dunia binsis. Weston H. Agor, penulis dari buku ‘Intuitive Management: Integrating Left and Right Brain Management Skills’ yang melakukan studi mendalam terhadap ribuan manager yang sukses dari berbagai jenis perusahaan di berbagai belahan dunia akhirnya menyimpulkan bahwa para manager yang sukses tersebut ternyata tidak terlepas dari kemampuan mereka untuk membuat keputusan secara intuitif.
Bahkan, penelitian yang dilakukan oleh Professor John Mihalasky dari New Jersey Institute of Technology di Newark semakin memperkuat pentingnya intusisi dalam bisnis. Dalam eksperimen mereka yang menarik, mereka memilih 25 manager yang akan menentukan arah masa depan usaha mereka. Sengaja yang dipilih adalah yang berasal dari kalangan manufaktur kecil agar keputusan mereka tidak terpengaruh oleh komisaris maupun penanam modal. Dari 25 yang terpilih, 12 diantaranya berhasil menggandakan keuntungan perusahaan dalam waktu lima tahun berikutnya. Dan… inilah yang paling menarik, 11 dari 12 manager yang sukses usahanya ternyata mendapatkan skor yang sangat tinggi saat dites intuisi bisnisnya!
Kini, hubungan yang tinggi antara intuisi dengan kesuksesan berbisnis ternyata semakin banyak diungkap oleh para peneliti dan praktisi manajemen. Henry Mintzberg, professor manajemen terkenal dari McGill University di Montreal, mengungkapkan “Sementara  banyak manager lumpuh dan bingung. Dalam situasi bisnis yang tidak menentu, para manager yang sukses mengandalkan naluri dan suara batinnya untuk menghadapi permasalahan yang terlalu kompleks untuk dipikirkan dengan analisis rasional biasa”
Kata-kata Henry Mintzberg ini segera mengingatkan saya dengan pengalaman sewaktu masih di Astra, tatkala sedang menyiapkan pertemuan apresiasi bagi para trainer di Astra. Waktu itu, seorang eksekutif didepan para calon pemimpin Astra berkata dengan lantang, “Dalam posisi karyawan di level bawah, kita biasanya mengambil keputusan dengan rasio karena faktor-faktor penentunya yang jelas. Namun, semakin ke atas, semakin  tidak menentu faktor maupun variabel penentunya. Bahkan, tidak tersedia data yang mendukung keputusan yang harus diambil. Saat itulah, metode pengambilan keputusan sistematis yang kita pelajari di bangku kuliah, tidak lagi memadai. Saat itulah kita membutuhkan intuisi kita”. Ini pula yang sering diungkapkan oleh Pak Ciputra dalam berbagai kesempatan pertemuan bisnis tentang rutinitas hidupnya. Seringkali, pagi-pagi sekali Pak Ciputra telah bangun dan bermeditasi untuk menjernihkan batinnya agar bisa mengambil keputusan secara bijak. Banyak keputusan besar dalam bisnis Pak Ciputra, yang terang-terangan mengandalkan intuisinya.

Bagian berikutnya dari artikel ini akan menjawab, bagaimana tips dan cara melatih intuisi bisnis tersebut?
Pertanyaan yang lebih mendasar sebenarnya adalah bisakah intuisi bisnis dilatih? Kebanyakan orang yang bergerak di bidang manajemen, yang terlatih menggunakan cara berpikir yang logis dan sistematis akan berkomentar bahwa intuisi itu berbau ‘paranormal’ dan tidak ilmiah. Banyak pula yang mengatakan bahwa intuisi tergantung pada bakat dan tidak bisa dilatih.
Hingga saat inipun, konsorsium EQ international yang mencoba mengkaji penerapan berbagai aspek EQ di tempat kerja, tidak memasukkan intuisi sebagai bagian dari kemampuan kecerdasan otak kanan. Alasannya? tidak ilmiah dan sulit dibuktikan. Namun, beberapa ahli EQ seperti Robert Cooper dan Ayman Sawaf yang terkenal dengan bukunya “Executive EQ” jelas-jelas memasukkan intuisi sebagai salah satu unsur kesadaran emosi yang berpengaruh terhadap keputusan seseorang. Bahkan dalam pengamatan mereka, “berbisnis tidaklah cukup jika hanya melihat dengan kepala, namun juga harus dengan hati.”
Bahwa intuisi tidak bisa dibuktikan bukan lantas berarti intuisi tidak bisa dilatih. Dalam kesempatan memberikan training di HR Excellency mengenai teknik pengambilan keputusan intuitif bagi para manager, biasanya seringkali dilatihkan teknik IPS (Intuitive Problem Solving). Teknik ini biasanya merupakan teknik awal untuk melatih kemampuan berintuisi bagi mereka yang jarang menggunakannya. Untuk teknik dan metode IPS ini, kita harus berterima kasih banyak kepada Dr.Marcia Emery, psikolog dari Amerika yang pertama kali memperkenalkan formula berpikir intuitif ini.
Bagaimana langkahnya? Berikut ini adalah langkah-langkah yang dilakukan untuk melatih dan mengembangkan Intuitive Problem Solving (IPS):

Langkah 1:
Definisikan masalahnya
Tuliskan dan pikirkan permasalahan yang Anda alami dengan pertanyaan yang menantang diri Anda untuk mencari jawabannya. Misalkan tatkala mengalami kebuntuan ide menciptakan produk baru, tanyakan, “Jika saya memiliki sumber daya tak terbatas, bagaimanakah desain produk baru yang dapat dihasilkan yang lebih akan memuaskan pelanggan saya saat ini?” Atau kepada yang mengalami kebuntuan dan kebingungan karir hidupnya, dapat pula bertanya, “Jika memiliki sumber daya tak terbatas, pekerjaan seperti apakah yang ingin dikerjakan” Pertanyaan-pertanyaan seperti ini mulai akan mengaktivasikan otak kita untuk mencari jawabannya. Dalam hal ini, hati-hatilah dengan pertanyaan kita. Seperti prinsip “Aladin” yang dikatakan oleh Jack Canfield, penulis buku Chicken Soup for the Soul,  “Apa yang kita tanyakan dalam hidup kita adalah apa yang akan kita dapatkan jawabannya.Hati-hatilah meminta dan bertanya!”

Langkah 2:
Fokuskan perhatian Anda.
Dalam hal ini, Anda bisa melakukan relaksasi atau meditasi untuk menenangkan diri. Teknik-teknik pernafasan dapat dipakai untuk mencapai saat yang hening. Termasuk juga menggunakan musik-musik lembut yang dapat mengarahkan pikiran kita. Seringkali pula, saya menyarankan berdoa dilakukan pada langkah kedua ini, khususnya jika Anda bermaksud mengambil keputusan besar yang terkait dengan diri dan kehidupan saat ini. Dalam hal ini, layaklah kita meminta petunjuk dari Tuhan untuk menuntun intuisi yang akan berbicara pada diri kita. Mintalah dengan rendah hati kepada Tuhan untuk menuntun keputusan kita.

Langkah 3:
Jadikan diri Anda semakin reseptif.
Reseptif berarti Anda semakin merasakan keheningan dan sadar dengan diri dan situasi di sekitar Anda. Juga berarti anda semakin peka dan sensitif dengan setiap sensasi dan penginderaan Anda. Ada baiknya jika ini dilakukan dengan menutup mata dan mencoba lebih dalam lagi mempraktekkan teknik-teknik bernafas serta me-rileks-kan diri. Nelson Mandela, seringkali mengungkapkan bagaimana masa-masa sepi dan hening di penjara menjadi momen-momen yang paling membuatkan semakin yakin. Disitulah ia menyadari dengan jelas tujuan hidupnya untuk membebaskan Afrika Selatan dari sistem pembedaan warna kulit (apartheid) yang menginjak-injak martabat manusia. Ia sangat reseptif dengan tujuan hidupnya.

Langkah 4:
Dapatkan suatu image atau bayangan tertentu.
Setelah Anda merasakan keheningan, langkah berikutnya adalah untuk mendapat gambaran visual tertentu, suara tertentu, bentuk pikiran tertentu ataupun perasaan tertentu. Dalam hal ini biasanya gambaran tersebut munculnya secara spontan dan mengambil bentuk seperti simbol, kata, frase, gambar, dll. Atau, secara akitf kita dapat mencoba mencari bentuk-bentuk yang dirasakan sesuai dengan situasi yang dipikirkan. Biarkan perasaan yang menuntun kita untuk merasakan apakah simbol atau kata tertentu cocok atau tidak dengan masalah yang sedang kita pikirkan.

Langkah 5:
Intepretasikan image atau bayangan yang didapatkan.
Latihlah untuk mencoba menerjemahkan makna dari image, simbol maupun bentuk yang diperoleh. Kaitkan, gunakan hubungan yang kreatif antara image yang diperoleh serta maknanya dengan masalah yang sedang dipikirkan. Gunakan berbagai pertimbangan dan kemungkinan. Pernah terjadi, suatu ketika ada seorang broker yang menggunakan teknik ini untuk memikirkan saham tertentu. Pada langkah ini dia mendapatkan gambar air terjun yang dari jauh tampak menyenangkan, namun ia pun melihat airnya jatuh dengan curam dan menakutkan. Akhirnya, dia mengartikan bahaya yang mulai mengancam saham tersebut. Lantas, ia memutuskan untuk mulai menjual sebagian besar saham tersebut. Keputusannya dengan mengikuti image tersebut ternyata benar. Ia pun merasa bahagia dengan mengikuti intuisinya tersebut.

Langkah 6:
Istirahatkan.
Jika ternyata image maupun ide yang Anda peroleh tidak jelas, maka istirahatkan. Tetapi sebelumnya, katakan kepada diri Anda sendiri bahwa Anda membutuhkan jawaban atas apa yang sedang Anda pikirkan. Biarkan pikiran Anda ‘mengeram’ pertanyaan yang sudah Anda tanyakan sampai terdapat suatu solusi yang secara spontan muncul bagi diri Anda dengan mengambil bentuk-bentuk seperti di langkah ke-5.

Langkah 7:
Intepretasikan lebih lanjut.
Tatkala Anda mendapatkan lagi image atau solusi tertentu yang spontan diberikan kepada Anda, intepretasikan kembali image tersebut. Pikirkan secara mendalam apa maknanya, apa artinya di baliknya.

Langkah 8:
Aktivasikan solusi.
Jika sudah mantap dengan keputusan tersebut, laksanakan rencanakan langkah-langkah yang konkrit yang akan diambil. Seringkali orang mendapatkan ide-ide intuitif yang menarik namun tidak diwujudkan dalam tindakan nyata. Akibatnya setelah melihat ada orang lain yang sungguh melakukannya, banyak yang lantas berkata, “Lho, yang seperti itu pernah terlintas dalam pikiran saya”. Maka lakukan follow up yang sesuai dengan apa yang telah dikatakan oleh intuisi anda tersebut.

Bisa Karena Terbiasa
Memang tidak selamanya proses intuisi kita menghasilkan keputusan yang benar. Namun, tak jarang pula intuisi inilah yang menuntun kita pada keputusan tepat, bahkan menyelamatkan hidup kita. Pernahkah Anda mendengar kisah seorang ibu yang berhasil menyelamatkan nyawa anaknya berkat intuisinya. Saat itu, ketika dibawa ke dokter keluarganya, dikatakan anaknya baik-baik saja. Namun, suatu perasaan mengatakan padanya “Ada yang tidak beres. Cari pendapat kedua dari dokter lain”. Tapi logikanya mengatakan, selama ini dokter keluarganya tak pernah salah. Namun, ia mengikuti apa yang dikatakan intuisinya. Dan ternyata, apa yang terjadi pada anaknya adalah simtom-simtom dari suatu penyakit berbahaya yang segera membutuhkan perawatan intensif. Untung saja, ibu itu mengikuti intuisinya.
Sayangnya, seringkali intuisi kita bisa menjadi keliru karena terpengaruh oleh berbagai sebab. Salah satu pengaruh yang membuat bias intuisi kita adalah faktor yang oleh Martha Tilaar disebut sebagai AIDS (singkatan dari Angkuh-Iri-Dengki-Serakah). Karena berbagai faktor ini, intuisi kita pun menjadi tertutup, keliru ataupun dibelokkan oleh kepentingan diri daripada apa yang seharusnya kita lakukan. Karena itulah, seringkali berdoa dan menjernihkan ‘batin’ merupakan langkah yang bijak untuk mendapatkan keputusan intuitif yang lebih tepat.
Selain itu, tetap saja, hukum ‘trial and error’ merupakan langkah permulaan yang baik untuk melatih kemampuan intuisi kita. Belajar-membuat kesalahan-mengambil hikmahnya-belajar-mencoba lagi, itulah siklus kita dalam memahirkan teknik  pengambilan keputusan ini.
Juga sangat disarankan, membuat jurnal intuisi dentang tentang kesan yang kita peroleh, serta keputusan serta hasilnya, Ini merupakan langkah terbaik untuk melihat perkembangan kematangan kemampuan intuisi kita.
Semoga tulisan tentang teknik mempraktekkan intuisi ini menggugah Anda untuk menggali lebih jauh potensi tersembunyi dibalik pikiran Anda. May the Wisdom be with you!






In business, fun works and work pays off better when it is fun.
(Leslie Yerkes, Fun Works)
Ratusan tahun yang lalu, Confucius memberi nasihat, “Carilah pekerjaan yang Anda senangi, maka seumur hidup Anda tidak perlu lagi menyebut Anda bekerja”. Namun apa yang kita saksikan? Kita dibesarkan dalam lingkungan yang mengajarkan mitos: kerja adalah beban, kerja adalah tugas berat yang harus dipikul.
Rasanya, amat sulit menerapkan nasihat Confucius tersebut dalam dunia kerja yang sesungguhnya. Bagi kebanyakan orang, kerja memuat beban emosi negatif yang tinggi. Biasanya, kerja berarti menyebalkan, membosankan dan orang tidak sabar menunggu-nunggu jam kerja berakhir. Tak mengherankan jika dari dunia kerja, keluarlah komentar semacam, “TGIF=Thank God It’s Friday”, “I hate Monday”. Intinya, bekerja, adalah rutinitas yang menyebalkan. Demikian, banyak orang hidup dengan prinsip  tersebut.
Sampai-sampai, muncul pula kalimat, "If work was fun, it wouldn't be called work, right"? (“Kalau kerja itu menyenangkan, maka tidak akan disebut kerja, betul kan?) Jawabannya ternyata SALAH!
Belakangan ini, mulai muncul banyak buku yang membahas pentingnya unsur FUN dalam pekerjaan, termasuk pula unsur bermain. Dimulai tatkala, buku FISH yang menceritakan filosofi “bermain” di sebuah tempat penjualan ikan di Seattle bernama Pike Place Fish, ternyata bisa menjadi tempat amat produktif dan menginspirasi dunia bisnis karena semangat “bermainnya”. Belakangan, muncul kajian lebih detil lagi yang dilakukan Leslie Yerkes untuk menghimpun kisah sukses perusahaan karena faktor FUN di tempat kerjanya.
Leslie Yerkes, pengarang yang terkenal dengan bukunya Fun Works yang dirilis bulan Juni 2001, menceritakan dengan detil 11 perusahaan yang memberikan keteladanan soal penyatuan fun dan work atau yang dikenal "fun-work fusion". Selama beberapa masa, bukunya telah dipajang di The New York Times, Financial Times serta Fortune sebagai buku yang direkomendasikan untuk dibaca oleh para eksekutif. 
Hal yang menarik dalam buku tersebut adalah komentar Yerkes bahwa selama kurun waktu 1,5 abad, karyawan selalu mendengar bahwa antara kerja (work) serta kesenangan (fun) adalah dua hal yang tidak kompatibel, tidak klop. Logika yang selalu dibangun adalah kalau orang memiliki terlalu banyak kesenangan dalam kerja, lantas kapan pekerjaannya selesai?  Namun, kenyataannya, menurut Yerkes, tidaklah demikian. Kesenangan (fun) adalah energi yang memberikan vitalitas kerja. Bahkan Yeskes menambahkan, “If you want to succeed at business, get the fundamentals right, but don't forget to have fun." (Jika Anda ingin sukses dalam bisnis, lakukan hal-hal fundamental secara benar, tetapi jangan melupakan untuk tetap memiliki kesenangan).
Apa yang diucapkan Yerkes menjadi menarik, ketika koran terkenal Sunday Times mengelurkan daftar 100 Best Companies to Work For pada edisi khususnya tanggal 3 Februari 2003 lalu. Terhadap daftar tersebut, tidaklah banyak yang terkejut. Salah satu yang dibahas secara  mendalam adalah ciri-ciri orang yang bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut. Dalam datar tersebut, Microsoft menempati urutan teratas. Sementara itu, dalam daftarnya masih ada nama-nama perusahaan yang ternyata meletakkan “fun” sebagai salah satu nilai kerja mereka,  seperti: Peoplesoft, SAP, American Express, Unilever, Marks & Spencer, juga Volkwagen Group UK.
Menurut kajian Sunday Times, sering terjadi, faktor fun (senang) diabaikan. Namun ketika daftar perusahaan ‘ternyaman untuk bekerja’ ini diumumkan, kesimpulanpun muncul dengan sendirinya. Nyatanya, perusahaan yang sukses tidaklah selalu harus terlalu serius. Justru yang menarik, perusahaan pilihan tersebut bukanlah perusahaan yang melulu melakukan investasi modal, tetapi juga pada ‘perasaan’ karyawannya. Perusahaan yang menghargai kesenangan kerja karyawannya, tampak lebih produktif dan secara signifikan lebih memberikan profit. Pada gilirannya, kinerja perusahaan ini menunjukkan dengan level kepuasan karyawan yang tinggi, mereka akhirnya mampu memberi level kepuasan yang tinggi pada pelanggannya.

Bagaimana membangun FUN?
Microsoft memberikan kesempatan pada karyawannya mendekorasi ruang kerjanya, sehingga menjadi tempat yang membetahkan. Unilever menginvestasikan modal untuk perlengkapan bermain bagi karyawan yang dapat dilakukan di sela-sela waktu istirahatnya. Southwest Airlines, sengaja merekrut orang-orang yang memiliki spontanitas dan rasa humor tinggi dalam melayani penumpang. Sementara, Pike Place Fish, tempat penjualan ikan yang terkenal membangun semangat, “We are not WORKING, we are PLAYING”. Bagaimana dengan tempat kerja Anda?
Pertanyaannya, bagaimanakah menyulap tempat bekerja kita, sehingga menjadi tempat kerja yang menyenangkan seperti kisah-kisah perusahaan di atas, namun tetap profitable?  Kuncinya, terletak pada kata FUN.
  1. Fokuskan pada hal-hal yang menyenangkan dan menarik di kantor. Masalah kerja adalah masalah sikap. Kebanyakan kerja menjadi membosankan, karena sikap kerja negatif. Saya jadi teringat cerita tentang karyawan pengeluh yang selalu berkeluh kesah soal tempat kerjanya yang tidak menyenangkan. Menurutnya, meja kerjanya terlalu di pojok, kurang penerangan dan terpencil dari pergaulan kantor. Perusahaan lalu memutuskan memindahkannya ke tempat eksklusif dengan ruang khusus di tempat yang memungkinkan ia bertemu banyak karyawan. Apa yang terjadi berikutnya, bukannya bersyukur, ia pun mulai mengeluh lagi, “Tempatnya terlalu hiruk pikuk. Ruangannya terlalu empuk, membuat orang mengantuk”. Selama pikiran kita masih disetel untuk melihat hal-hal yang buruk di kantor, maka kita akan terus-menerus membuat litani kesulitan dan kesengsaraan di kantor. Pertama-tama, mindset kita perlu diubah untuk melihat sisi positif dari pekerjaan kita saat ini. Semakin banyak hal positif terlihat, semakin besar peluang bagi kita untuk mencintai tempat kerja kita.
  2. Upayakan melibatkan semua. Jadikan kesenangan di tempat kerja sebagai sesuatu yang inklusif, melibatkan orang sebanyak-banyaknya. Saya teringat pengalaman sewaktu saya menjalani magang kerja di Kanada, di Executive Network. Disana, terdapat kebiasaan memberi hadiah bagi cerita-cerita konyol dari karyawan. Ada hadiah mingguan bagi kategori humor terlucu. Ada juga hadiah bagi pengalaman karyawan terlucu. Setiap minggu, kami dapat membaca cerita-cerita sharing antar karyawan yang mengocok perut. Hal ini menyebabkan tempat kerja, menjadi tidak angker dan orang mulai menikmati hubungan dan interaksi yang terjadi.
  3. Nikmati humor dan ciptakan humor di tempat kerja. Humor tidak harus menunggu. Setiap saat, kita dapat menciptakan humor di tempat kerja. Caranya adalah membangun antena humor dan mulai peka terhadap hal-hal yang bisa dibuat menjadi humor. Inilah kunci Herb Kelleher yang membangun identitas Southwest Airlines yang “humoris”. Setiap kali office inspection, Herb memasang antena humornya dan berkeliling mencari apa yang bisa dikomentarinya secara humoris. Ia selalu mengatakan, “Saya bukan seorang humoris, tetapi saya berusaha menjadi seorang yang penuh humor”. Hasilnya, dalam sejarahnya Soutwest Airlines justru berjaya tatkala banyak penerbangan di Amerika ambruk dilanda resesi. Hasil penelitian lain, yang pernah dilakukan oleh majalah HR Focus (edisi February 1993), majalah komunitas Society of Human Resource Managers mengungkapkan: 96% eksekutif yang disurvei Accountemps percaya, karyawan dengan rasa humor tinggi bekerja lebih baik dibanding yang rasa humornya rendah. Penelitian juga menunjukkan mereka yang menyenangi pekerjaannya, ternyata lebih produktif, lebih kreatif dan selain itu, memiliki tingkat kepuasan kerja yang lebih baik.

      Akhirnya, kita melihat bahwa komentar jaman Aristoteles bahwa, “Kerja adalah perbudakan”, tidaklah selalu benar. Bahkan di masa sekarang, kerja tidak selalu harus berarti memeras keringat dengan peluh bercucuran. Kerja tidak selalu berarti perpiration (keringat), tetapi kerja unggul yang sesungguhnya adalah inspiration. Inilah yang oleh Paul Krugman, seorang ekonom terkenal, sebagai biang keladi kegagalan bisnis di Asia tahun 1998-an. Menurutnya, bisnis di Asia terlalu mengandalkan kerja keras, tetapi kekurangan semangat dan kreativitas. Jika kita percaya apa yang dikatakan Krugman, maka jelas kreativitas menjadi fundamental kesuksesan bisnis di masa-masa mendatang. Dan sangat nyata sekali, kreativitas hanya bisa dibangun oleh mereka-mereka yang menyenangi tempat dan lingkungan kerjanya. Karena itulah, tak mengherankan jika kita katakan FUN adalah unsur yang jauh lebih FUNdamental untuk bisnis kita saat ini.

1 komentar:

  1. setuju pak..keputusan yg berdasarkan hati dan logika sering membawa perubahan kpd situasi yg lebih mudah, pada waktu2 tertentu..

    BalasHapus