"Menyenangkan sekali setiap kali saya bangun dan mencoba
mendengarkan apa yang intuisi katakan pagi itu kepada saya. Itu ibarat ide
pemberian cuma-cuma dari alam. Saya bekerja dengan intuisi dan mengandalkannya.
Intuisi adalah partner kerja ilmiah saya yang luar biasa!” (Jonas Salk, penemu
vaksin polio)
Jika Anda penggemar film science fiction, pastilah mudah bagi
Anda untuk mengingat kembali sekuel pertama film Man in Black (MIB) yang pernah
populer di tahun 1997. Tema film tersebut cukup sederhana. Berkisah tentang dua
agen rahasia, agen K (diperankan Tommy Lee Jones) serta agen J (diperankan Will
Smith), yang bertugas untuk mengawasi sepak terjang para makhluk UFO di bumi.
Tugas utama mereka adalah menyalamatkan bumi dari para alien yang bermaksud
menghancurkan bumi.
Yang paling menarik, dalam seri pertama film tersebut terdapat kisah
mengenai bagaimana awal mula agen J (Will Smith) pertama kali direkrut. Dalam
suatu tes ‘eliminasi’ yang menarik, ia diharuskan mengambil keputusan menembak
salah satu mahkluk yang menurutnya berbahaya. Dalam gambar makhluk yang
disediakan, ternyata ada banyak sekali makhluk alien yang jelek sekali rupanya.
Justru, hanya ada satu diantara mahkluk itu yang bagus rupanya, yakni yang
berupa wujud seorang gadis kecil. Logika Will Smith mengatakan yang harus
ditembak adalah makhuk-makhluk alien yang tampak paling ganas dan paling jelek
rupanya. Namun sejenak intuisinya berkata lain. Ia merasa ada yang tidak beres
dengan anak kecil itu. Maka, senjatanyapun ia arahkan ke gadis kecil itu.
Voila! Ternyata benar. Wujud anak kecil manis itu ternyata adalah penjelmaan
dari makhluk alien amat sadis yang ingin menghancurkan bumi. Will Smith pun
lolos dan terpilih menjalankan misi menyelamatkan bumi.
Dalam film Man In Black tersebut, tampaklah bentuk sederhana dari
pengambilan keputusan yang didasarkan pada apa yang disebut intuisi. Secara
awam, intuisi berasal dari kata Latin ‘intuire’ yang bermakna ‘melihat dan
mengetahui dari dalam’. Seperti dalam film tersebut, logika agen Will Smith
mengatakan ia harus menembak mahkluk dengan tampang paling mengerikan. Namun,
suara batin dari dalam dirinya justru melihat bahwa ada yang tidak beres dengan
gadis kecil tersebut. Maka, ketika ia mengikuti suara batinnya, nyatalah ia
benar.
Dalam konteks manajemen, cerita ini sebenarnya mirip dengan cerita
seorang kepala cabang suatu bank yang merasakan adanya ketidakberesan dengan
laporan keuangan yang sebentar lagi akan ia laporkan ke pusat. Di depan dokumen
laporan, ia tidak melihat adanya ketidakberesan. Namun, ada dorongan dari
dirinya yang membuat ia merasa perlu memeriksa detil beberapa kalkulasi biaya
yang dilaporkan. Suara batinnya menuntun ia untuk memeriksa secara detil dan
menyeluruh. Dibanding dokumen yang sesungguhnya, akhirnya ia melihat adanya
pembulatan-pembulatan yang tidak boleh dilakukan. Sisa-sisa pembulatan, jika
dibiarkan bertahun-tahun, dikalikan dengan ratusan ribu nasabah, akhirnya akan
menjadi bilangan uang yang cukup banyak. Akhir cerita, ‘suara dari dalam dirinya’
berhasil membongkar suatu konspirasi antara orang IT dengan akuntingnya yang
selama ini memasukkan sisa-sisa pembulatan uang ke rekening mereka sendiri.
Suatu konspirasi yang akan sulit diungkap jika saja hanya mengandalkan logika
belaka.
Cerita ini juga mirip dengan keputusan pertama Djoko Susanto, boss
kelompok ritel Alfa yang memutuskan untuk berhenti menjadi kuli borongan dan
membangun toko kelontong milik orang tuanya. Intuisinya mengatakan untuk fokus
saja pada penjualan rokok. Sementara, secara logika pada waktu itu, jika toko
mereka menjual segala macam barang, mungkin hasilnya akan lebih menguntungkan.
Namun, justru dengan intuisi berdagang rokok itulah, menjadi cikal bakal
kesuksesan Djoko di bidang ritel. Cerita ini juga mirip dengan cerita Martha
Tilaar yang setelah kembali ke Indonesia mempunyai ‘keyakinan dari dalam diri’
bahwa ia bisa berhasil di bisnis kosmetik tradisional. Padahal, logika bisnis
jamu adalah melawan arus pada waktu itu. Pada era 70-an, ketika Martha Tilaar
memulai bisnisnya, image tentang jamu adalah “tidak hiegienis, kotor dan
kampungan!”. Toh akhirnya sekarang kita melihat bahwa intuisi Martha Tilaar
untuk membangun bisnis kosmetik tradisional ternyata menjadi salah satu legenda
keputusan bisnis terbaik di negeri ini.
Semakin ke Atas, Dituntut Semakin Intuitif
Semua kisah di atas, merupakan bukti sederhana bagaimana intuisi
berperan besar dalam dunia binsis. Weston H. Agor, penulis dari buku ‘Intuitive
Management: Integrating Left and Right Brain Management Skills’ yang melakukan
studi mendalam terhadap ribuan manager yang sukses dari berbagai jenis
perusahaan di berbagai belahan dunia akhirnya menyimpulkan bahwa para manager
yang sukses tersebut ternyata tidak terlepas dari kemampuan mereka untuk
membuat keputusan secara intuitif.
Bahkan, penelitian yang dilakukan oleh Professor John Mihalasky dari New
Jersey Institute of Technology di Newark semakin memperkuat pentingnya intusisi
dalam bisnis. Dalam eksperimen mereka yang menarik, mereka memilih 25 manager
yang akan menentukan arah masa depan usaha mereka. Sengaja yang dipilih adalah
yang berasal dari kalangan manufaktur kecil agar keputusan mereka tidak
terpengaruh oleh komisaris maupun penanam modal. Dari 25 yang terpilih, 12
diantaranya berhasil menggandakan keuntungan perusahaan dalam waktu lima tahun
berikutnya. Dan… inilah yang paling menarik, 11 dari 12 manager yang sukses
usahanya ternyata mendapatkan skor yang sangat tinggi saat dites intuisi
bisnisnya!
Kini, hubungan yang tinggi antara intuisi dengan kesuksesan berbisnis
ternyata semakin banyak diungkap oleh para peneliti dan praktisi manajemen.
Henry Mintzberg, professor manajemen terkenal dari McGill University di
Montreal, mengungkapkan “Sementara banyak manager lumpuh dan bingung.
Dalam situasi bisnis yang tidak menentu, para manager yang sukses mengandalkan
naluri dan suara batinnya untuk menghadapi permasalahan yang terlalu kompleks
untuk dipikirkan dengan analisis rasional biasa”
Kata-kata Henry Mintzberg ini segera mengingatkan saya dengan pengalaman
sewaktu masih di Astra, tatkala sedang menyiapkan pertemuan apresiasi bagi para
trainer di Astra. Waktu itu, seorang eksekutif didepan para calon pemimpin
Astra berkata dengan lantang, “Dalam posisi karyawan di level bawah, kita
biasanya mengambil keputusan dengan rasio karena faktor-faktor penentunya yang
jelas. Namun, semakin ke atas, semakin tidak menentu faktor maupun
variabel penentunya. Bahkan, tidak tersedia data yang mendukung keputusan yang
harus diambil. Saat itulah, metode pengambilan keputusan sistematis yang kita
pelajari di bangku kuliah, tidak lagi memadai. Saat itulah kita membutuhkan
intuisi kita”. Ini pula yang sering diungkapkan oleh Pak Ciputra
dalam berbagai kesempatan pertemuan bisnis tentang rutinitas hidupnya.
Seringkali, pagi-pagi sekali Pak Ciputra telah bangun dan bermeditasi untuk
menjernihkan batinnya agar bisa mengambil keputusan secara bijak. Banyak
keputusan besar dalam bisnis Pak Ciputra, yang terang-terangan mengandalkan
intuisinya.
Bagian berikutnya dari artikel ini akan menjawab, bagaimana tips dan
cara melatih intuisi bisnis tersebut?
Pertanyaan yang lebih mendasar sebenarnya adalah bisakah intuisi bisnis
dilatih? Kebanyakan orang yang bergerak di bidang manajemen, yang terlatih
menggunakan cara berpikir yang logis dan sistematis akan berkomentar bahwa
intuisi itu berbau ‘paranormal’ dan tidak ilmiah. Banyak pula yang mengatakan
bahwa intuisi tergantung pada bakat dan tidak bisa dilatih.
Hingga saat inipun, konsorsium EQ international yang mencoba mengkaji
penerapan berbagai aspek EQ di tempat kerja, tidak memasukkan intuisi sebagai
bagian dari kemampuan kecerdasan otak kanan. Alasannya? tidak ilmiah dan sulit
dibuktikan. Namun, beberapa ahli EQ seperti Robert Cooper dan Ayman Sawaf yang
terkenal dengan bukunya “Executive EQ” jelas-jelas memasukkan intuisi sebagai
salah satu unsur kesadaran emosi yang berpengaruh terhadap keputusan seseorang.
Bahkan dalam pengamatan mereka, “berbisnis tidaklah cukup jika hanya melihat dengan
kepala, namun juga harus dengan hati.”
Bahwa intuisi tidak bisa dibuktikan bukan lantas berarti intuisi tidak
bisa dilatih. Dalam kesempatan memberikan training di HR Excellency mengenai
teknik pengambilan keputusan intuitif bagi para manager, biasanya seringkali
dilatihkan teknik IPS (Intuitive Problem Solving). Teknik ini biasanya
merupakan teknik awal untuk melatih kemampuan berintuisi bagi mereka yang
jarang menggunakannya. Untuk teknik dan metode IPS ini, kita harus berterima
kasih banyak kepada Dr.Marcia Emery, psikolog dari Amerika yang pertama kali
memperkenalkan formula berpikir intuitif ini.
Bagaimana langkahnya? Berikut ini adalah langkah-langkah yang dilakukan
untuk melatih dan mengembangkan Intuitive
Problem Solving (IPS):
Langkah 1:
Definisikan masalahnya
Tuliskan dan pikirkan permasalahan yang Anda alami dengan pertanyaan
yang menantang diri Anda untuk mencari jawabannya. Misalkan tatkala mengalami
kebuntuan ide menciptakan produk baru, tanyakan, “Jika saya memiliki sumber
daya tak terbatas, bagaimanakah desain produk baru yang dapat dihasilkan yang
lebih akan memuaskan pelanggan saya saat ini?” Atau kepada yang mengalami
kebuntuan dan kebingungan karir hidupnya, dapat pula bertanya, “Jika memiliki
sumber daya tak terbatas, pekerjaan seperti apakah yang ingin dikerjakan”
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini mulai akan mengaktivasikan otak kita untuk
mencari jawabannya. Dalam hal ini, hati-hatilah dengan pertanyaan kita. Seperti
prinsip “Aladin” yang dikatakan oleh Jack Canfield, penulis buku Chicken Soup
for the Soul, “Apa yang kita tanyakan dalam hidup kita adalah apa
yang akan kita dapatkan jawabannya.Hati-hatilah meminta dan bertanya!”
Langkah 2:
Fokuskan perhatian Anda.
Dalam hal ini, Anda bisa melakukan relaksasi atau meditasi untuk
menenangkan diri. Teknik-teknik pernafasan dapat dipakai untuk mencapai saat
yang hening. Termasuk juga menggunakan musik-musik lembut yang dapat
mengarahkan pikiran kita. Seringkali pula, saya menyarankan berdoa dilakukan
pada langkah kedua ini, khususnya jika Anda bermaksud mengambil keputusan besar
yang terkait dengan diri dan kehidupan saat ini. Dalam hal ini, layaklah kita
meminta petunjuk dari Tuhan untuk menuntun intuisi yang akan berbicara pada
diri kita. Mintalah dengan rendah hati kepada Tuhan untuk menuntun keputusan
kita.
Langkah 3:
Jadikan diri Anda semakin reseptif.
Reseptif berarti Anda semakin merasakan keheningan dan sadar dengan diri
dan situasi di sekitar Anda. Juga berarti anda semakin peka dan sensitif dengan
setiap sensasi dan penginderaan Anda. Ada baiknya jika ini dilakukan dengan
menutup mata dan mencoba lebih dalam lagi mempraktekkan teknik-teknik bernafas
serta me-rileks-kan diri. Nelson Mandela, seringkali mengungkapkan bagaimana
masa-masa sepi dan hening di penjara menjadi momen-momen yang paling membuatkan
semakin yakin. Disitulah ia menyadari dengan jelas tujuan hidupnya untuk
membebaskan Afrika Selatan dari sistem pembedaan warna kulit (apartheid)
yang menginjak-injak martabat manusia. Ia sangat reseptif dengan tujuan
hidupnya.
Langkah 4:
Dapatkan suatu image atau bayangan tertentu.
Setelah Anda merasakan keheningan, langkah berikutnya adalah untuk
mendapat gambaran visual tertentu, suara tertentu, bentuk pikiran tertentu
ataupun perasaan tertentu. Dalam hal ini biasanya gambaran tersebut munculnya
secara spontan dan mengambil bentuk seperti simbol, kata, frase, gambar, dll.
Atau, secara akitf kita dapat mencoba mencari bentuk-bentuk yang dirasakan
sesuai dengan situasi yang dipikirkan. Biarkan perasaan yang menuntun kita
untuk merasakan apakah simbol atau kata tertentu cocok atau tidak dengan
masalah yang sedang kita pikirkan.
Langkah 5:
Intepretasikan image atau bayangan yang didapatkan.
Latihlah untuk mencoba menerjemahkan makna dari image, simbol maupun
bentuk yang diperoleh. Kaitkan, gunakan hubungan yang kreatif antara image yang
diperoleh serta maknanya dengan masalah yang sedang dipikirkan. Gunakan
berbagai pertimbangan dan kemungkinan. Pernah terjadi, suatu ketika ada seorang
broker yang menggunakan teknik ini untuk memikirkan saham tertentu. Pada
langkah ini dia mendapatkan gambar air terjun yang dari jauh tampak
menyenangkan, namun ia pun melihat airnya jatuh dengan curam dan menakutkan.
Akhirnya, dia mengartikan bahaya yang mulai mengancam saham tersebut. Lantas,
ia memutuskan untuk mulai menjual sebagian besar saham tersebut. Keputusannya dengan
mengikuti image tersebut ternyata benar. Ia pun merasa bahagia dengan mengikuti
intuisinya tersebut.
Langkah 6:
Istirahatkan.
Jika ternyata image maupun ide yang Anda peroleh tidak jelas, maka istirahatkan. Tetapi sebelumnya, katakan kepada diri Anda sendiri bahwa Anda membutuhkan jawaban atas apa yang sedang Anda pikirkan. Biarkan pikiran Anda ‘mengeram’ pertanyaan yang sudah Anda tanyakan sampai terdapat suatu solusi yang secara spontan muncul bagi diri Anda dengan mengambil bentuk-bentuk seperti di langkah ke-5.
Jika ternyata image maupun ide yang Anda peroleh tidak jelas, maka istirahatkan. Tetapi sebelumnya, katakan kepada diri Anda sendiri bahwa Anda membutuhkan jawaban atas apa yang sedang Anda pikirkan. Biarkan pikiran Anda ‘mengeram’ pertanyaan yang sudah Anda tanyakan sampai terdapat suatu solusi yang secara spontan muncul bagi diri Anda dengan mengambil bentuk-bentuk seperti di langkah ke-5.
Langkah 7:
Intepretasikan lebih lanjut.
Tatkala Anda mendapatkan lagi image atau solusi tertentu yang spontan
diberikan kepada Anda, intepretasikan kembali image tersebut. Pikirkan secara
mendalam apa maknanya, apa artinya di baliknya.
Langkah 8:
Aktivasikan solusi.
Jika sudah mantap dengan keputusan tersebut, laksanakan rencanakan
langkah-langkah yang konkrit yang akan diambil. Seringkali orang mendapatkan
ide-ide intuitif yang menarik namun tidak diwujudkan dalam tindakan nyata.
Akibatnya setelah melihat ada orang lain yang sungguh melakukannya, banyak yang
lantas berkata, “Lho, yang seperti itu pernah terlintas dalam pikiran saya”.
Maka lakukan follow up yang sesuai
dengan apa yang telah dikatakan oleh intuisi anda tersebut.
Bisa Karena Terbiasa
Memang tidak selamanya proses intuisi kita menghasilkan keputusan yang
benar. Namun, tak jarang pula intuisi inilah yang menuntun kita pada keputusan
tepat, bahkan menyelamatkan hidup kita. Pernahkah Anda mendengar kisah seorang
ibu yang berhasil menyelamatkan nyawa anaknya berkat intuisinya. Saat itu,
ketika dibawa ke dokter keluarganya, dikatakan anaknya baik-baik saja. Namun,
suatu perasaan mengatakan padanya “Ada yang tidak beres. Cari pendapat kedua
dari dokter lain”. Tapi logikanya mengatakan, selama ini dokter keluarganya tak
pernah salah. Namun, ia mengikuti apa yang dikatakan intuisinya. Dan ternyata,
apa yang terjadi pada anaknya adalah simtom-simtom dari suatu penyakit
berbahaya yang segera membutuhkan perawatan intensif. Untung saja, ibu itu
mengikuti intuisinya.
Sayangnya, seringkali intuisi kita bisa menjadi keliru karena
terpengaruh oleh berbagai sebab. Salah satu pengaruh yang membuat bias intuisi
kita adalah faktor yang oleh Martha Tilaar disebut sebagai AIDS (singkatan
dari Angkuh-Iri-Dengki-Serakah).
Karena berbagai faktor ini, intuisi kita pun menjadi tertutup, keliru ataupun
dibelokkan oleh kepentingan diri daripada apa yang seharusnya kita lakukan.
Karena itulah, seringkali berdoa dan menjernihkan ‘batin’ merupakan langkah
yang bijak untuk mendapatkan keputusan intuitif yang lebih tepat.
Selain itu, tetap saja, hukum ‘trial and error’ merupakan langkah
permulaan yang baik untuk melatih kemampuan intuisi kita. Belajar-membuat
kesalahan-mengambil hikmahnya-belajar-mencoba lagi, itulah siklus kita dalam
memahirkan teknik pengambilan keputusan ini.
Juga sangat disarankan, membuat jurnal intuisi dentang tentang kesan
yang kita peroleh, serta keputusan serta hasilnya, Ini merupakan langkah
terbaik untuk melihat perkembangan kematangan kemampuan intuisi kita.
Semoga tulisan tentang teknik mempraktekkan intuisi ini menggugah Anda
untuk menggali lebih jauh potensi tersembunyi dibalik pikiran Anda. May the
Wisdom be with you!
|
|
|
In
business, fun works and work pays off better when it is fun.
(Leslie Yerkes, Fun Works)
Ratusan tahun yang lalu,
Confucius memberi nasihat, “Carilah pekerjaan yang Anda senangi, maka seumur
hidup Anda tidak perlu lagi menyebut Anda bekerja”. Namun apa yang kita
saksikan? Kita dibesarkan dalam lingkungan yang mengajarkan mitos: kerja
adalah beban, kerja adalah tugas berat yang harus dipikul.
Rasanya, amat sulit menerapkan
nasihat Confucius tersebut dalam dunia kerja yang sesungguhnya. Bagi
kebanyakan orang, kerja memuat beban emosi negatif yang tinggi. Biasanya,
kerja berarti menyebalkan, membosankan dan orang tidak sabar menunggu-nunggu
jam kerja berakhir. Tak mengherankan jika dari dunia kerja, keluarlah
komentar semacam, “TGIF=Thank God It’s Friday”, “I hate Monday”. Intinya,
bekerja, adalah rutinitas yang menyebalkan. Demikian, banyak orang hidup
dengan prinsip tersebut.
Sampai-sampai, muncul pula
kalimat, "If work was fun, it wouldn't be called work, right"?
(“Kalau kerja itu menyenangkan, maka tidak akan disebut kerja, betul kan?) Jawabannya
ternyata SALAH!
Belakangan ini, mulai muncul
banyak buku yang membahas pentingnya unsur FUN dalam pekerjaan, termasuk pula
unsur bermain. Dimulai tatkala, buku FISH yang menceritakan filosofi
“bermain” di sebuah tempat penjualan ikan di Seattle bernama Pike Place Fish,
ternyata bisa menjadi tempat amat produktif dan menginspirasi dunia bisnis
karena semangat “bermainnya”. Belakangan, muncul kajian lebih detil lagi yang
dilakukan Leslie Yerkes untuk menghimpun kisah sukses perusahaan karena
faktor FUN di tempat kerjanya.
Leslie Yerkes, pengarang yang
terkenal dengan bukunya Fun Works yang dirilis bulan Juni 2001, menceritakan
dengan detil 11 perusahaan yang memberikan keteladanan soal penyatuan fun dan
work atau yang dikenal "fun-work fusion". Selama beberapa masa,
bukunya telah dipajang di The New York Times, Financial Times
serta Fortune sebagai buku yang direkomendasikan untuk dibaca oleh
para eksekutif.
Hal yang menarik dalam buku tersebut adalah komentar Yerkes bahwa selama kurun waktu 1,5 abad, karyawan selalu mendengar bahwa antara kerja (work) serta kesenangan (fun) adalah dua hal yang tidak kompatibel, tidak klop. Logika yang selalu dibangun adalah kalau orang memiliki terlalu banyak kesenangan dalam kerja, lantas kapan pekerjaannya selesai? Namun, kenyataannya, menurut Yerkes, tidaklah demikian. Kesenangan (fun) adalah energi yang memberikan vitalitas kerja. Bahkan Yeskes menambahkan, “If you want to succeed at business, get the fundamentals right, but don't forget to have fun." (Jika Anda ingin sukses dalam bisnis, lakukan hal-hal fundamental secara benar, tetapi jangan melupakan untuk tetap memiliki kesenangan). Apa yang diucapkan Yerkes menjadi menarik, ketika koran terkenal Sunday Times mengelurkan daftar 100 Best Companies to Work For pada edisi khususnya tanggal 3 Februari 2003 lalu. Terhadap daftar tersebut, tidaklah banyak yang terkejut. Salah satu yang dibahas secara mendalam adalah ciri-ciri orang yang bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut. Dalam datar tersebut, Microsoft menempati urutan teratas. Sementara itu, dalam daftarnya masih ada nama-nama perusahaan yang ternyata meletakkan “fun” sebagai salah satu nilai kerja mereka, seperti: Peoplesoft, SAP, American Express, Unilever, Marks & Spencer, juga Volkwagen Group UK.
Menurut kajian Sunday Times,
sering terjadi, faktor fun (senang) diabaikan. Namun ketika daftar perusahaan
‘ternyaman untuk bekerja’ ini diumumkan, kesimpulanpun muncul dengan
sendirinya. Nyatanya, perusahaan yang sukses tidaklah selalu harus terlalu
serius. Justru yang menarik, perusahaan pilihan tersebut bukanlah perusahaan
yang melulu melakukan investasi modal, tetapi juga pada ‘perasaan’
karyawannya. Perusahaan yang menghargai kesenangan kerja karyawannya, tampak
lebih produktif dan secara signifikan lebih memberikan profit. Pada
gilirannya, kinerja perusahaan ini menunjukkan dengan level kepuasan karyawan
yang tinggi, mereka akhirnya mampu memberi level kepuasan yang tinggi pada
pelanggannya.
Bagaimana membangun FUN?
Microsoft memberikan kesempatan
pada karyawannya mendekorasi ruang kerjanya, sehingga menjadi tempat yang
membetahkan. Unilever menginvestasikan modal untuk perlengkapan bermain bagi
karyawan yang dapat dilakukan di sela-sela waktu istirahatnya. Southwest
Airlines, sengaja merekrut orang-orang yang memiliki spontanitas dan rasa
humor tinggi dalam melayani penumpang. Sementara, Pike Place Fish, tempat
penjualan ikan yang terkenal membangun semangat, “We are not WORKING, we are
PLAYING”. Bagaimana dengan tempat kerja Anda?
Pertanyaannya, bagaimanakah
menyulap tempat bekerja kita, sehingga menjadi tempat kerja yang menyenangkan
seperti kisah-kisah perusahaan di atas, namun tetap profitable?
Kuncinya, terletak pada kata FUN.
Akhirnya, kita melihat bahwa komentar
jaman Aristoteles bahwa, “Kerja adalah perbudakan”, tidaklah selalu benar.
Bahkan di masa sekarang, kerja tidak selalu harus berarti memeras keringat
dengan peluh bercucuran. Kerja tidak selalu berarti perpiration (keringat),
tetapi kerja unggul yang sesungguhnya adalah inspiration. Inilah yang oleh
Paul Krugman, seorang ekonom terkenal, sebagai biang keladi kegagalan bisnis
di Asia tahun 1998-an. Menurutnya, bisnis di Asia terlalu mengandalkan kerja
keras, tetapi kekurangan semangat dan kreativitas. Jika kita percaya apa yang
dikatakan Krugman, maka jelas kreativitas menjadi fundamental kesuksesan
bisnis di masa-masa mendatang. Dan sangat nyata sekali, kreativitas hanya
bisa dibangun oleh mereka-mereka yang menyenangi tempat dan lingkungan
kerjanya. Karena itulah, tak mengherankan jika kita katakan FUN adalah unsur
yang jauh lebih FUNdamental untuk bisnis kita saat ini.
|
|
setuju pak..keputusan yg berdasarkan hati dan logika sering membawa perubahan kpd situasi yg lebih mudah, pada waktu2 tertentu..
BalasHapus