Kini di era MEA 2015 war for talent antar organisasi telah menjadi kenyataan di depan mata kita. Kebutuhan unit kerja, organisasi dan kepesatan peningkatan perusahaan tidak diiringi ketersediaan penawaran profesional yang sepadan. Hal ini mengakibatkan perang talenta memanas hingga ke level tertinggi. Persaingan perekrutan dan pembajakan talenta profesional bahkan menghadirkan praktik perang talenta di luar batas logika akal sehat. The demands for talent for exceeds supply. Manajemen talenta, tak pelak merupakan salah satu isu prioritas yang paling membuat pusing para eksekutif puncak dewasa ini

Selasa, 24 Maret 2015

Talent War in Football: Belajar Talent Management dari Liga Inggris

Berita-berita persaingan antar klub, issue perpindahan pemain, saling incar pemain bintang klub lawan menjadi berita yang luar biasa menarik. Adu strategi mencuri hati dan memikat pemain bintang, tarik-ulur nego antara pemain dan manager apalagi ditambah dengan ulasan media, seakan tidak kalah serunya dengan permainan sepak bola yang sesungguhnya. Sungguh fenomena yang mengesankan…..It’s a Talent War in Football….

Salah satu case yang menarik terjadi pada salah satu klub papan atas, jajaran Big Four, liga Inggris yaitu Asenal. Saat ini Arsenal menjadi salah satu klub yang cukup terguncang dengan fenomena Talent War dalam sepak bola. Bayangkan, Fabregas, sang Kapten tim yang sekaligus pengatur serangan pindah ke klub Barcelona lantaran ingin merasakan tropy juara, Gael Clichy seorang bek sayap yang energik pindah ke Manchester City, klub bergelimang uang, yang notabene saingan berat dari Arsenal yang berani membayar lebih mahal, dan Emanuel Eboue gelandang bertahan senior di Arsenal pindah ke klub Galatasaray Turki karena sudah mulai jarang dimainkan.


Belum lagi issue Samir Nasri gelandang serang penguasa lapangan tengah Arsenal ini terus-menerus minta untuk dijual ke klub lawan meskipun sudah ditawari gaji yang lebih tinggi. Hampir sama dengan Fabregas ia ingin berada di klub yang bisa memberinya tropy juara. Luar biasa….untung saja saya bukan fans-nya Arsenal, kalau tidak saya pasti sudah ikut kuatir tentang kemampuan, performa dan daya saing klub ini untuk menjuarai liga Inggris, terutama pasca ditinggal para pemain kuncinya, pasti kocar-kacir, apalagi ada beberapa pemain inti lain yang cidera.

Dan prediksi saya terjawab, dalam dua laga awal setelah liga Inggris dimulai kembali, Arsenal ditahan imbang New Castle dan dikalahkan Liverpool 2-0.

Nah sekarang, mari kita coba analisa case yang menarik ini dari sisi Talent Management.
1. Irit Rekrut Pemain Bintang yang Mature
 Dalam kurun waktu 4 th terakhir Arsenal bisa dibilang agak irit rekrut atau belanja pemain bintang yang mature. Sebagian besar pemainnya adalah pemain muda potensial dibawah 25 th, yang bagus dari sisi skill namun lemah dalam hal mental & karakter. Tahun lalu sebenarnya Arsenal berpotensi juara. Separuh musim mereka berhasil memimpin dengan 7 point di atas MU dan 11 point di atas Chelsea. Namun beberapa kali mereka kalah pada laga melawan klub-klub medioker, frustasi dan finish ke-4 di bawah City.

Faktor mental dari anak2 muda inilah yang kurang diantisipasi oleh Pelatih Arsenal Arsene Wenger. Wenger terlalu mengandalkan pasukan mudanya yang masih labil dan kurang mengkombinasikannya dengan pemain bintang yang cukup mature, yang dapat menjadi teladan, motivator yang menjaga semangat tim di kala mendapatkan tekanan kompetisi yang demikian besar. Wenger tidak segera mencari pengganti pemain bintang senior yang sudah resign, antara lain Patrick Viera, Thieery Hendry, Mateuw Flamini & Gallas yang selama ini menjadi panutan.

Lesson Learn: Talent Readiness, tidak hanya dilihat dari aspek kompetensi saja, tapi juga Mental dan Kedewasaan.

2. Pemain Pelapis Kurang Siap
 Setelah ditinggal Fabregas, Adebayour, Eboue dan Clichy serta beberapa pemain inti yang cidera, otomatis tim utama Arsenal bergantung pada pemain lapis kedua mereka. Para pemain lapis kedua ini, biasanya memang dipersiapkan sebagai regenerasi dari tim utama. Mereka inilah para kader pemain yang direncanakan untuk melanjutkan kejayaan sebuah klub, termasuk Arsenal.
 Namun dari dua pertandingan awal dimana Arsenal mengalami 1 seri dan 1 kalah, terlihat bahwa para pemain pelapis Arsenal secara kapabilitas masih jauh dibawah tim utama dan kurang pengalaman bertanding di level liga utama yang penuh tekanan. Mereka belum siap.

Lesson Learn: untuk mempertahankan kejayaan sebuah Organisasi (Sustainability) dibutuhkan sebuah regenerasi. Proses kaderisasi harus disiapkan secara matang hingga tidak ada GAP Kompetensi yang terlalu jauh dari satu generasi ke generasi berikutnya.

3. Kebanggaan Klub Luntur
 Pertanyaan yang menarik dari case Arsenal adalah,” Mengapa sebagian besar pemain kunci keluar dari klub…?”.
 Salah satu kondisi yang jadi melatarbelakangi hal ini, yakni Prestasi Klub. Seperti yang kita ketahui, di eropa sana sepak bola adalah sebuah industri yang dikemas secara menarik lewat kompetisi atau liga, dikelola secara professional dan disupport oleh liputan media yang luarbiasa.
 Sebuah Klub dianggap Tersohor apabila mereka bisa menjadi Raja atau Juara di negaranya dan Jadi Raja di Eropa dengan menjuarai Liga Champions. Inilah yang dianggap prestasi bagi klub sepakbola eropa, To Be The King of Europe. Tidak banyak klub2 yang bisa mewujudkannya, namun jika mereka berhasil, maka mereka akan masuk dalam jajaran elit klub eropa. Buat para pemain, masuk ke dalam salah satu klub elit eropa merupakan impian. Selain akan membuat diri mereka terkenal dan digaji lebih besar tetapi bergabung dengan tim elit, akan membuat mereka punya kesempatan untuk menyentuh, mencium dan menjunjung Piala Champions, Piala tertinggi di sepakbola eropa. Itulah kebanggaan mereka sebagai pemain sepakbola.

Sekarang kembali pada kasus Arsenal, secara historical, Arsenal merupakan klub yang masuk jajaran elit liga Inggris dengan prestasi 13 kali juara liga dan merupakan langganan masuk liga Champions. Secara prestasi cukup membanggakan sebenarnya. Namun berdasarkan data, terakhir mereka menjuarai liga adalah tahun 2004, yang artinya sudah 6 tahun mereka miskin gelar. Enam tahun terakhir ini mereka kalah bersaing dengan MU dan Chelsea. Hal inilah yang jadi pemicu krisis moral para pemain Arsenal, disatu sisi mereka ingin sekali juara, disisi lain 4 tahun terakhir pelatih Arsene Wenger kurang menambah kekuatan tim dengan pemain-pemain matang yang berkelas. Itu yang membuat mereka, para pemain kunci itu, menjadi berkecil hati. Mereka berpikir tidak akan menjadi juara jika tetap bersama Arsenal, dan jalan keluarnya adalah pndah ke klub yang berpotensi JUARA.


Lesson Learn: Kebanggaan terhadap Organisasi adalah salah satu factor untuk meningkatkan Talent Engagement. Buat para Talent bangga dengan organisasi yang mereka miliki. Dan itu bisa diwujudkan dengan mengembangkan performance dan meningkatkan prestasi organisasi. Agustinus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar