Dunia usaha selalu
saja memberi “ujian” setiap hari bahkan setiap waktu kepada Top Management
perusahaan. Penyelenggaraan ujian ini akan terus berlangsung. Soal-soal ujian
yang harus dipecahkan adalah : suasana kerja yang tidak kondusif, motivasi
kerja yang menurun, isyu-isyu menyesatkan yang justru dianggap benar oleh
karyawan, serta penentuan skala prioritas mana yang hendak didahulukan.
Sekarang tinggal bagaimana Top Management tersebut menjawab soal-soal ujiannya.
Sebagian besar dari mereka berhasil menyelesaikannya dengan baik dan benar,
namun sebagian lagi mereka justru gagal sebelum memulainya. 80
Dalam menjawab
persoalan ini, top management harus lebih banyak berperan aktif dalam mendorong
kepuasan, motivasi serta semangat kerja para karyawannya. Tugas ini tidak cukup
hanya diembankan kepada Departemen / Divisi HRD saja (biasanya ke atas pundak
HRD Manager / Training Manager). Akan tetapi di sisi lain, top management
sebagai pengambil keputusan puncak yang amat significant justru mempunyai
kepentingan yang sangat besar dalam melihat masalah ini dengan lebih
komprehensif dan jernih. Di semua organisasi usaha atau bisnis sepatutnya
terdapat kesepakatan yang tidak tertulis yang wajib dipahami pihak manajemen
dan para karyawannya bahwa: “Pekerja harus dinilai sebagai Subyek bukannya
Obyek (apalagi Obyek Penderita – obyek yang selalu menderita)”.
Para karyawan
seharusnya lebih diperlakukan sebagai Partner & Kolega (apalagi sebagai Asset)
dalam mencapai semua tujuan perusahaan secara bersama-sama. Para Karyawan
bukanlah alat ataupun sarana dari Pemilik Modal untuk mencapai Tujuan Pribadi
Pengusaha semata-mata, tetapi lebih kepada Tujuan Bersama (togetherness goal),
dengan demikian akan terjadi apa yang disebut sebagai “Simbiosis Mutualisme”
(=suatu kerjasama saling menguntungkan).
Kita semua sepakat
bahwa peran pemilik modal sangatlah penting. Tanpa pengusaha tidak akan ada
yang namanya karyawan. Satu orang pengusaha dapat merekrut ratusan bahkan
ribuan karyawan, tetapi sebaliknya ribuan karyawan tersebut belum tentu
melahirkan satu orang pengusaha sekalipun. Sebenarnya menjadi seorang pengusaha
adalah Anugerah dari Tuhan dan merupakan Kepercayaan (Trust) yang diberikan
Tuhan untuk menggantungkan nasib para karyawannya kepada Sang Pengusaha
tersebut sebagai suatu amanat yang harus diemban dan dilaksanakan dengan baik
dan direstui Tuhannya. Pada hakekatnya para karyawan, manager dan top
management merupakan “bagian penting yang permanen” (= significantly permanent
parties) di dalam suatu perusahaan. Disebut permanen karena keberadaan mereka
yang selalu eksis dalam satu “kapal” yang sama, yang notabene harus mempunyai
tujuan yang sama pula. Baik karyawan, manager maupun top management masing-masing
mempunyai andil dalam membuat kapal tersebut “karam / tenggelam”. Kondisi kapal
sangat berdampak bagi kelangsungan hidup ketiganya. Namun yang perlu diingat,
tidak semua penumpangnya mempunyai kemampuan renang yang sama. Yang kemampuan
renangnya minim akan ikut tenggelam bersama kapal, tetapi yang keahlian
renangnya tinggi akan selamat bahkan mungkin akan mampu menemukan kapal baru
yang lebih besar, megah dan nyaman di tengah laut guna melanjutkan perjalanan.
Oleh karena itu, ketiganya (karyawan, manager dan top management) haruslah
dapat bekerjasama dengan baik dan terpadu melalui keahliannya masing-masing
tanpa adanya campur tangan yang terlalu intens (deeply-intervention) dari
masing-masing pihak dalam melaksanakan keahliannya. Karena dengan adanya campur
tangan yang terlalu “intens” melebihi kompetensi areanya tersebut akan
menyulitkan masing-masing pihak untuk melaksanakan dan mengembangkan
keahliannya masing-masing. Namun paradoksal dengan campur tangan tadi, di sisi
lain top management perlu menumbuhkan iklim yang kondusif bagi tiap-tiap
penumpang kapal itu untuk mau dan mampu memberikan pendapat (opinions) serta
saran/gagasan (ideas) yang konstruktif untuk mengantisipasi “kekaburan
pandangan ke depan” (=Unclearly Vision) dari Nakhoda (bacanya: top management)
kapal tersebut. Iklim yang kondusif tadi diperlukan guna mendorong “keaneka-
ragaman” pandangan yang bertujuan mencari solusi terbaik demi pencapaian tujuan
akhir perjalanan kapal tersebut dengan lebih cepat dan efisien. Atribut
“keaneka-ragaman” ini jangan malah di-indikasikan sebagai ancaman dari dalam
(internal threat) tetapi sebaliknya dan sebaiknya harus dianggap sebagai
kesempatan dari dalam (internal opportunity) guna mengangkat ke permukaan
hal-hal yang bersifat positif demi menjaga dan meningkatkan solidaritas dalam
menempuh perjalanan panjang “pelayaran” secara bersama-sama. Bila saja kita mau
melakukan “benchmarking” (=studi banding) dengan melihat organisasi-organisasi
bisnis kelas dunia dari mancanegara, maka perhatikan dan amatilah Perusahaan-perusahaan
Jepang, dimana mulai dari proses perekrutan SDM-nya sampai kepada pemberian
kompensasinya selalu didasarkan pada konsep: “Karyawan atau Pekerja adalah
“Mesin Kapal” yang harus dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya”. Dengan
menerapkan konsep pemikiran yang demikian itu Perusahaan- perusahaan Jepang
tersebut mampu menumbuhkan loyalitas, semangat dan motivasi kerja karyawannya
pada batas-batas yang sangat optimum. Dengan bekal loyalitas, semangat dan
motivasi kerja karyawan yang sedemikian rupa itu maka tidak ada sedikitpun rasa
ragu di dalam perusahaan-perusahaan Jepang tersebut untuk bersaing di dunia
bisnis internasional yang setiap saat selalu berubah drastis, semakin
kompetitif dan semakin kompleks. Karena dengan loyalitas, semangat dan motivasi
kerja yang tinggi tersebut akan menumbuhkan kapabilitas yang tinggi pula. Tidak
soal apakah perusahaan kita sekarang ini masih tergolong relatif kecil, muda
atau bahkan masih dinilai sangat konvensional, tetapi dengan loyalitas,
semangat dan motivasi kerja karyawan yang pasti akan menumbuhkan kapabilitas
maka slowly but sure kita akan mampu bersaing dengan siapa saja, kapan saja dan
dimana saja…Niscaya !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar