Istilah itu bukan
kosa kata baru. Kelihatanya masih asing karena secara frase baru dipopulerkan
beberapa tahun belakangan ini. Dalam The Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary
edisi terakhir disebutkan definisinya yang sangat apik. Frenemy didefinisikan
sebagai seseorang yang berperilaku layaknya sahabat, tetapi sebenarnya seorang
musuh. Seperti serigala berbulu domba yang masuk menjadi anggota kawanan domba,
mengembik dan mencari makan dengan gaya domba tanpa diketahui kawanan dengan
penyamaran yang hampir sempurna. Ketika tujuannya hampir tercapai, dengan tega
domba ini melepaskan bajunya, dan kelihatanlah bahwa ia adalah serigala.
Memangsa, mengoyak, merusak, dan menghancurkan dari dalam.
Teknik ini terbilang
kuno. Dunia perang memulai dengan aktivitas espionage untuk mengetahui kekuatan
lawan langsung dari kubu yang paling inti, dari tokoh yang paling sentral dan
dari daerah yang paling sensitif. Gaya Mata Hari, mata-mata yang amat populer
di Perang Dunia II, selalu akan didapat di segala bidang. Jangankan negara
adikuasa, bahkan perusahaan dan keluarga pun sudah banyak yang menggunakan
teknik ini.
Perusahaan menyewa
agen perusahaan lawan untuk mengetahui data lawan, dengan teknik yang amat
mendasar – menyuap karyawan yang merasa belum cukup imbalannya. Istri akan
menyewa sopir atau lebih cocok dikatakan menyuap sopir agar memberitahukan ke
mana saja sang suami ketika bertugas di luar kota. Sebaliknya, suami akan
menyuap sopir yang sama dengan jumlah lebih besar lagi agar melaporkan kegiatan
palsu kepada istrinya. Kanan dan kiri ok.
Dalam
perkembangannya, perubahan dari teman menjadi musuh menjadi semakin kompleks.
Bukan dari musuh yang berpura-pura menjadi teman dengan tujuan mengambil
sesuatu dari pertemanan tersebut, melainkan dari teman dalam persahabatan yang
murni. Karena kepentingan baru yang lebih besar, seorang sahabat dengan sadar
dan tega menikam sahabatnya untuk mendapat sahabat baru yang dianggap lebih
prospektif dibandingkan dengan yang lama.
Inilah yang sulit
diduga, yang sering menimbulkan decak kagum buat yang pro dan makin bagi yang
kontra.
Bayangkan, dua orang
bersepakat membangun perusahaan dari titik nol. Justru ketika perusahaan sudah
berkembang, mereka baku hantam dan merusak kredibilitas masing-masing karena
mendapat kesempatan untuk mengembangkan perusahaan lebih besar lagi dengan
mitra lain yang memberi iming-iming return yang menggiurkan. Perpisahan yang
dapat dilakukan secara kesatria berakhir dengan peperangan gaya kurusetra, yang
berakibat keduanya gugur tanpa makna. Ini pun sudah disiratkan dalam aksara
Jawa kuno ”honocoroko”.
Frenemy versi kedua
ini sangat kasat mata terlihat di panggung partai politik di negeri tercinta.
Lihat saja, banyak orang yang menyebut orang separtai sebagai sahabat sejati,
“mangan ora mangan asal ngumpul”, berjuang bersama membesarkan partai, tetapi
ketika kalah dalam pemilihan pengurus partai, pertalian sahabat menjadi sirna.
Jangankan bertegur sapa, silaturahmi yang sekian lama dibina hancur luluh.
Jadilah musuh dari seorang yang dulu disebut sebagai abang atau kakak. Dari
sahabat menjadi musuh.
Sangat mudah menjadi
musuh hanya karena tidak dilibatkan dalam kepengurusan baru. Mudah sekali
menjadi lawan hanya karena tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Manusia zaman ini telah banyak yang lupa tentang loyalitas dan arti sahabat
yang sebenarnya. Sahabat adalah rekan yang bisa memberikan maslahat. Sahabat
adalah seseorang yang dapat diperah susunya. Sahabat adalah orang yang mengerti
siapa dan apa kebutuhan dirinya, tanpa mau tahu kebutuhan sahabatnya.
Sedih sekali melihat
banyaknya partai atau organisasi yang didirikan barisan sakit hati. Bagaimana
memercayai organisasi yang demikian memperjuangkan kepentingan orang lain
ketika rakyat dengan gamblang melihat bahwa mereka mendirikan organisasi
tersebut karena merasa kepentingan mereka tidak diakomodasi oleh sahabat dari
partai lama?
Gaya ini makin
menjadi kultur baru yang mengenaskan. Tak puas, lalu mendirikan yang baru. Ini
terjadi di lintassektoral. Di organisasi bisnis, banyak konsultan yang dulunya
sahabat mendadak menjadi musuh dan lawan karena berpisah dan masing-masing
mengibarkan benderanya. Peperangan itu menyusup ke level karyawan yang paling
bawah sehingga banyak karyawan yang kian gundah, bekerja menjadi seperti berada
di neraka. Tujuannya bukan memuaskan pelanggan, melainkan menghancurkan lawan.
Bukan memberikan yang terbaik bagi pelanggan, melainkan fokus pada lawan.
Pokoknya, asal bisa memberikan yang lebih baik daripada pesaing, entah hal itu
disukai atau diminati pelanggan atau tidak.
Kalau mau sejahtera
dan nyaman, cara seperti ini perlu segera disudahi. Cari teman dan sabahat
sebanyak mungkin. Ukir budi dengan tulus. Kalaupun ada perbedaan, selesaikan
dengan komunikasi yang terbuka. Andaikan perbedaan itu tidak dapat diselaraskan
lagi sehingga perpisahan adalah jalan yang terbaik, lakukan dengan kesatria.
Perpisahan tidak memutus pertalian hati.
Tidak mudah memang.
Acapkali sering disebut utopia. Namun, ini adalah budaya organisasi yang harus
kita bina. Kalau ini terjadi, bangsa kita menjadi bangsa yang mumpuni.
Organisasi menjadi kuat, bukan untuk bersaing dengan sesama bangsa, tetapi
bersaing menghadapi bangsa lain yang semakin kuat mencengkeram kita. Kita pasti
bisa. ACFTA tidak dapat dielakkan lagi. Kita harus bersatu dan membasmi frenemy.
Kalau berhasil, kita akan menjadi bangsa yang kuat dan mandiri.(pb)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar