Banyak yang kelihatannya paham bahwa ‘attracting the best talent’ adalah salah satu kunci utama kemajuan perusahaan di masa mendatang. Ditambah lagi dengan keyakinan bahwa di masa depan yang paling penting adalah memenangkan ‘talent war’ bukan hanya ‘product war’ atau ‘marketing war’, maka pokok ini sering dijadikan bahan diskusi untuk merumuskan strategi yang tepat dan jitu dari level BOD yang dikepalai oleh CEO maupun level praktisi SDM yang diketuai oleh Chief SDM.
Kenyataannya, banyak perusahaan – termasuk pengakuan para CEO dan Chief SDM – yang belum berhasil untuk melakukannya. Mereka dengan jujur mengakui, perusahaan mereka ‘kalah’ bersaing dengan perusahaan multi nasional dan perusahaan besar dalam kompetisi talent ini. Dan selalu, ini yang sering dijadikan kambing hitam utama, masalah gaji adalah satu satunya alasan sehingga mereka tidak bisa mendapat top 10 atau top 20 dari para talent yang dicari.
Kalau mau jujur dan terbuka, apakah itu satu-satunya alasan?
Sering saya diminta memberikan pencerahan soal topik ini. Entah sudah berapa organisasi dan berapa seminar umum membahas masalah ini. Namun, kenyataannya perusahaan yang tidak bagus akan selalu kesulitan mendapatkan calon bagus dan perusahaan yang bagus selalu kesulitan menerima banyaknya calon yang bagus sehingga harus memilah dan memilih dari calon yang bagus sehingga hanya yang terbagus yang direkrut untuk menjadi ‘talent’.
Dalam pertanyaan yang diajukan peserta dalam seminar yang saya pimpin, maupun diskusi formal di tengah minum teh sesuai sesi, bahkan kesempatan dialog santai sambil ngopi di luar jam kerja untuk minta pencerahan pribadi, saya menemukan kesenjangan antara:
1. Keinginan untuk mendapatkan ‘the best talent’ dengan kemampuan untuk mendapatkannya
2. Kemauan untuk merekrut ‘the best talent’ dengan praktek dan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkannya.
Antara keinginan dan kemampuan, kemauan dan praktek sangat berbeda banyak. Kesenjangan tinggi sehingga saya sering mengungkapkan bahwa mendapat ‘the best talent’ hanya mitos, utopia dan sekedar slogan karena dengan fakta yang saya temukan tidak mungkin mendapatkan ‘the best talent’ dengan kondisi yang ada. Misalnya:
1. CEO-nya adalah orang yang tidak percaya ‘the best talent’ itu dibentuk dari awal. Dia tidak percaya bibit yang baik akan menghasilkan talent yang baik. Apalagi kalau ia dengan jumawa sering mengatakan ‘Saya saja tidak lulus PT tapi bisa jadi CEO. Saya saja cuman lulusan universitas lokal yang tidak masuk favorit tapi bisa jadi boss. Saya saja IP-nya hanya 2,3 buktinya jadi Presdir? Wah kalau saya harus mengikuti test seperti saat ini pasti saya tidak masuk, padahal itu tidak menjamin kesuksesan seseorang’.
Kalau CEO Anda sudah berpikir seperti ini, omong kosong Anda bicara soal top 10, IP di atas 3,0 dan test yang canggih, karena semua itu akan dipatahkan oleh CEO Anda yang kebetulan berbeda kondisinya dengan calon yang sedang Anda garap.
2. Chief SDM-nya bukan orang yang ‘the best’, alias orang yang medioker saja atau lebih fatal lagi adalah orang yang tidak berhasil di bisnis dan di’buang’ ke bidang SDM. Suatu utopia bisa mendapatkan ‘the best talent’ kalau Chief SDMnya sendiri bukan termasuk ‘the best’ di organisasi Anda. Ia bukan jadi inspirator tapi jadi penghambat bagi calon terbaik yang akan masuk.
3. Praktisi rekrutmennya berkategori ‘average’. Bagaimana mungkin orang yang ‘average’ mampu memilih yang the best? Acapkali yang the best kelihatan ‘unik’, ‘tidak ikut aturan’,’pemberontak’, ‘mau cepat’, ‘tidak sabaran’, ‘tidak bisa mengikuti standar baku’. Ini bagi rekruiter yang tidak pengalaman dan ‘average’ malah dikategorikan ‘orang aneh’ dan ‘tidak biasa’, padahal orang yang the best kadang memang tampil beda. Akibatnya, jenis ini sering ditolak sewaktu wawancara dengan komentar ‘tidak sesuai dengan kultur kita’.
4. Cara menghargai calon ‘the best’ dengan proses ‘yang biasa’ saja. Mau merekrut calon the best, prosesnya bertele tele, fasilitas yang disajikan untuk talent sangat minim, yang mewawancarai bukan golongan atas, bahkan sejak masuk ruang untuk test sudah dianggap pesakitan dan pencari kerja biasa. Tidak mungkin mendapat calon the best kalau proses dan fasilitas medioker. Apalagi kalau ditambah dengan slogan ‘di sini butuh super team bukan super man’, maka para calon the best akan ‘lari’ karena merasa tidak mungkin berkembang dengan budaya yang ‘sama-sama’.
5. Kompensasi yang disediakan ‘average’ dan tidak menghargai golongan yang ‘high performer’ karena prinsip ‘team work’ yang terlalu dipaksakan sehingga ‘super man’ tidak akan pernah muncul.
Kalau kelima hal ini tidak dibenahi, slogan attracting the best talent hanya sebagai mitos saja. Besar pasak daripada tiang.
Semoga ini tidak terjadi pada perusahaan Anda.
Kini di era MEA 2015 war for talent antar organisasi telah menjadi kenyataan di depan mata kita. Kebutuhan unit kerja, organisasi dan kepesatan peningkatan perusahaan tidak diiringi ketersediaan penawaran profesional yang sepadan. Hal ini mengakibatkan perang talenta memanas hingga ke level tertinggi. Persaingan perekrutan dan pembajakan talenta profesional bahkan menghadirkan praktik perang talenta di luar batas logika akal sehat. The demands for talent for exceeds supply. Manajemen talenta, tak pelak merupakan salah satu isu prioritas yang paling membuat pusing para eksekutif puncak dewasa ini
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar