Tahun yang ‘menantang’ sudah tiba. Tidak mudah mendapat tambahan anggaran pengembangan termasuk di dalamnya pendidikan dan pelatihan (diklat) bagi perusahaan yang sedang mengalami masa pancaroba pendapatan seperti sekarang ini. Tidak ada atau minimnya anggaran diklat tentunya membuat pusing para praktisi SDM yang masih menggunakan cara tradisional dalam melaksanakan apa yang disebut diklat yakni sesi kelas dengan mengundang narasumber di lokasi tertentu dan waktu tertentu.
Dalam era teknologi informasi yang nirkabel seperti saat ini, anggaran diklat mulai dialokasikan untuk penyusunan fondasi infrastruktur pelatihan dengan berbasis ‘cloud services’. Artinya, sudah saatnya pembenahan infrastruktur perangkat dan teknologi informasi menjadi prioritas dibandingkan membangun kelas secara fisik. Pembangunan kelas virtual dengan perangkat lunak yang canggih akan membuat diklat menjadi lebih nyaman dan karyawan lebih ‘enjoy’ melaksanakan diklatnya karena bisa dilakukan kapan saja, dimana saja dengan teman siapa saja.
Saya tidak berniat menjual perangkat lunak tertentu, tapi sebagai praktisi yang bergulat dengan IT setiap hari, kebutuhan adanya perangkat lunak yang menghubungkan sesama karyawan dengan sesama professional lain menjadi suatu keniscayaan. ‘Document Solution and Training Solution’ yang dikembangkan secara digital dan virtual akan sangat membantu diklat karyawan secara sistimatik dan hasilnya sangat ‘quantum’ apabila difasilitasi dengan baik. Bahkan dalam beberapa kompetensi, hasilnya jauh lebih ‘quantum’ dibandingkan dengan proses edukasi secara tatap muka dengan mentor yang itu itu lagi.
Bagaimana caranya?
Pertama, alokasi anggaran yang minim harus difokuskan pada pembenahan infrastruktur jaringan, perangkat lunak dan perangkat keras yang ada. Ini tentu bisa dilakukan secara bertahap secara ‘multi years’. Yang penting harus didesain oleh konsultan IT yang mengerti ‘global blue print’ yang akan dicapai dalam 5 tahun mendatang. Mulai dengan yang ‘murah’ dahulu sebelum yang ‘rumit’ dan ‘mahal’. Ini bukan soal ‘gaya’ atau ‘fashion’ tapi bangunlah infratruktur yang solid, bila perlu gunakan ‘open source’.
Kedua, sisihkan anggaran sisa untuk membentuk ‘gugus swat’ yakni karyawan yang punya ‘IT Literacy’ cukup tinggi dan bisa dijadikan ‘evangelist’ bila program ini sukses nantinya. Biasanya dalam satu perusahaan tidak lebih dari 20 persen karyawan yang bisa disebut dengan ‘early adopter’ seperti ini. Sekumpulan karyawan ini, diberikan pelatihan bagaimana mengembangkan diri dengan menggunakan ‘‘virtual class’, ‘virtual friends’ around the globe’. Fasilitasi mereka dengan suatu proyek, yang disesuaikan dengan bidang mereka masing masing, untuk dikembangkan menjadi suatu proyek yang nantinya secara serius akan diimplementasilkan di perusahaan. Lebih afdol lagi, kalau team ini melapor langsung ke direktur HRD atau bahan ke CEO langsung. Ini menunjukkan bahwa program ini bukan sekedar program murahan tapi program ‘quantum leap’.
Misalnya:
Team Swat HRD, diminta mengembangkan proyek ‘transformasi penilaian karya baru dengan atau tanpa distribusi normal’. Team ini langsung diminta ‘link’ ke team HR dari Microsoft, Yahoo dan Google misalnya yang sedang menjalani transformasi yang sama. Kalau prosesnya berjalan baik, maka team ini akan mendapat banyak konsultasi gratis dari berbagai sumber dengan pengalaman aktual sehingga menghasilkan kajian yang ilmiah sekaligus praktis. Bahkan tidak jarang, banyak konsultan wahid dari BCG, McKinsey, Hewitt secara pribadi bisa bergabung menjadi ‘resource person’ yang sangat kredible.
Kalau memiliki dana lebih, bisa menggunakan ‘video live streaming’ dengan para ‘volunteer expert’ yang dengan sukarela memberikan layanan gratis secara langsung. Apalagi mereka tahu, bahwa proyek ini akan diimplementasi di perusahaan di Indonesia. Banyak yang akan tertarik memberikan kontribusinya. Beginilah asyiknya dunia virtual, dimana kompetensi dapat diambil dari mana saja oleh siapa saja yang berminat.
Ketiga, hasil pengkajian secara eksternal lalu dibahas secara internal dengan berbagai pemangku kepentingan juga melalui diskusi virtual. Interaksi ini akan sangat vital karena banyak masukan yang didapat mengingat banyak orang lebih bisa mengemukakan idenya dengan menulis dibandingkan dengan diskusi terbuka yang acapkali didominasi oleh orang yang ahli debat.
Keempat, ketika sudah setengah matang, bahan yang sama di ’lempar’ lagi ke team ahli eksternal untuk mendapat masukannya. Persis yang saya lakukan secara sederhana lewat facebook atau twitter atau blog untuk mendiskusikan masalah yang lagi hangat. Tentu tidak semua orang, harus kalangan yang diundang yang memiliki keahlian dan kompetensi yang dibutuhkan.
Kelima, setelah final dan disetujui program ini harus dilakukan secara konsisten. Ketika ada umpan balik dari implementasi maka program ini akan menjadi semakin ‘valid’.
Kala kelima langkah ini berputar secara konsisten, maka diklat telah terjadi secara simultan. Team telah dikembangkan dengan proyek sungguhan dengan cara unggulan. Melatih para anggota untuk interaksi dengan banyak expert di dunia luar, melatih kemampuan bahasa Inggris tulisan dan lisan, melatih explore banyak bahan di dunia dan memilah yang paling cocok dengan program yang sedang dilakukan. Ketika hal ini sudah diputar lebih dari dua putaran, maka program menjadi semakin lengkap.
Inilah yang saya lakukan ketika saya merampungkan buku pertama saya “Built to Bless’ dan buku kedua “Lead to Bless Leader’ yang merupakan karya bersama banyak ahli dari berbagai negara. Itu sebabnya kedua karya tadi tetap ‘laku’ sampai sekarang (sudah memasuki cetakan ke 13 dan ke 6) dan terus diminta ‘sharing’ di berbagai kesempatan hampir setiap bulan. Semakin sering dikaji, bahan akan semakin lengkap.
Nah, ini bisa dilakukan baik untuk pengembangkan skill teknis maupun non teknis dengan metoda virtual seperti ini. Bagi saya, dua buku tadi terjadi dengan ‘zero budget’, tapi hasil ‘return’nya ‘quantum income’. Bukankah ini indah?
*) Paulus Bambang WS adalah penulis buku BUILT TO BLESS, LEAD TO BLESS LEADER, dan BALANCING YOUR LIFE. Good Morning Partner (GMP) dari Paulus Bambang WS hadir setiap hari Senin di PortalHR.com. Edisi-edisi sebelumnya dapat dibaca melalui link di bawah ini. Kami juga mengharapkan partisipasi pembaca melalui form komentar. Komentar-komentar menarik akan mendapatkan hadiah buku dari penulis.
Kini di era MEA 2015 war for talent antar organisasi telah menjadi kenyataan di depan mata kita. Kebutuhan unit kerja, organisasi dan kepesatan peningkatan perusahaan tidak diiringi ketersediaan penawaran profesional yang sepadan. Hal ini mengakibatkan perang talenta memanas hingga ke level tertinggi. Persaingan perekrutan dan pembajakan talenta profesional bahkan menghadirkan praktik perang talenta di luar batas logika akal sehat. The demands for talent for exceeds supply. Manajemen talenta, tak pelak merupakan salah satu isu prioritas yang paling membuat pusing para eksekutif puncak dewasa ini
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar