Lingkungan ketiga yang sangat mempengaruhi pertumbuhan potensi talent menjadi Star adalah Lingkungan komunitas di mana talent bergaul di luar jam kerja. Komunitas akan membentuk si calon.
Ada pepatah yang mengatakan ‘tell me your friends and I will tell you your future,’ saya kira ini ada benarnya. Rekan di komunitas akan membentuk calon menjadi seseorang yang sesuai dengan komunitasnya. Calon yang bergaul erat dengan PNS akan berbeda dengan yang bergaul erat dengan anggota Parpol dan sangat berbeda dengan pergaulan dengan Wirausahawan. Pola pikir yang terbentuk dari lingkungan itu akan mempengaruhi pola tindak dan pola tutur si talent.
Itu sebabnya, dalam ‘career counselling,’ seorang counselor harus membantu talent mengembangkan komunitas yang sesuai dengan masa depan yang ingin diraihnya. Bila si talent diproyeksikan menjadi CMO (Chief Marketing Officer) dalam 5-10 tahun mendatang, harus disarankan bergaul dengan para marketer, berguru pada para marketing guru seperti Hermawan Kartajaya, Handi Irawan atau Handito.
Perusahaan harus memberikan dukungan finansial agar talent bergabung dengan komunitas yang sesuai dengan rencana karir di masa mendatang. Menjadi anggota klub atau organisasi tertentu agar mendapat pencerahan dari luar serta bisa berkontribusi lebih luas lagi. Talent yang mengikuti jaringan komunitas yang sesuai dengan karirnya, akan mempercepat perkembangan kematangan pribadi dan kesahihan pengetahuannya.
Komunitas ini dalam generasi Y seperti sekarang ini bisa terjadi di dua arena yang berbeda.
Pertama, arena real artinya komunitas fisik dengan perkenalan secara fisik, pertemuan tatap muka dan berinteraksi secara langsung. Ini tentu mempunyai keterbatasan dan kemaslahatannya sendiri. Semakin selektif tapi mendalam pertemanan dengan komunitas tertentu akan semakin berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian dan kompetensi talent.
Kedua, arena virtual artinya komunitas di dunia maya lewat twitter, facebook, blog, linkedlin dan berbagai komunitas lain. Komunitas professional dalam dunia maya adalah tak terbatas. Kemampuan masing-masing individu untuk ‘tap’ pada kompetensi diluar dengan ‘competent master’ menjadi sangat terbuka. Saya pun sangat merasakan bahwa ‘engage’ dengan para guru di luar sana sangat memperkaya wawasan dan pengetahuan. Bahkan kadang menjadi kesempatan baru untuk mengembangkan karir dan kesempatan berbisnis yang tidak didapat dengan komunitas real.
Talent yang berhasil mengembangkan diri dengan komunitas real dan virtual akan mempercepat perkembangan 3C mereka sendiri. Ini akan berakibat akseptabilitas ketika ia menjadi Star akan semakin tinggi.
Masalahnya banyak perusahaan yang tidak ‘mengijinkan’ para talent berselancar di jam kerja. Banyak yang masih ber’persepsi’ bahwa keaktifan di dunia maya adalah pemborosan waktu dan tidak ada gunanya. Itu sebabnya kanal ini ditutup. Padahal jaman sekarang, talent bisa menembus blokade perusahaan dengan gadget personalnya sendiri. Toh pada akhirnya sama saja, kalau yang ingin menggunakan komunitas virtual untuk sekedar ‘pleasure’ maka itu akan tetap terjadi, sedangkan talent yang ingin tapping pada ‘powerful source of knowledge’ akan tetap berupaya juga dengan gadgetnya sendiri.
Kesimpulannya, lingkungan kerja, keluarga dan komunitas menjadi lingkungan yang harus dibina agar menjadi lahan yang subur bagi munculnya Star dari talent yang ada. Kalau ini tidak dikelola dengan baik oleh talent maupun mentor, maka perkembangan talent akan tersendat.
Untuk direnungkan :
1. Bagaimana perusahaan menjembatani lingkungan komunitas bagi para talent ini ?
2. Seberapa besar anggaran yang dialokasikan untuk mendukung talent aktif di komunitas professional sesuai dengan arah karir yang sedang dijalani ?
3. Sampai seberapa besar komunitas real dan virtual serta lokal dan regional yang harus dikelola agar talent bisa tumbuh dengan cepat lagi ?
Ada pepatah yang mengatakan ‘tell me your friends and I will tell you your future,’ saya kira ini ada benarnya. Rekan di komunitas akan membentuk calon menjadi seseorang yang sesuai dengan komunitasnya. Calon yang bergaul erat dengan PNS akan berbeda dengan yang bergaul erat dengan anggota Parpol dan sangat berbeda dengan pergaulan dengan Wirausahawan. Pola pikir yang terbentuk dari lingkungan itu akan mempengaruhi pola tindak dan pola tutur si talent.
Itu sebabnya, dalam ‘career counselling,’ seorang counselor harus membantu talent mengembangkan komunitas yang sesuai dengan masa depan yang ingin diraihnya. Bila si talent diproyeksikan menjadi CMO (Chief Marketing Officer) dalam 5-10 tahun mendatang, harus disarankan bergaul dengan para marketer, berguru pada para marketing guru seperti Hermawan Kartajaya, Handi Irawan atau Handito.
Perusahaan harus memberikan dukungan finansial agar talent bergabung dengan komunitas yang sesuai dengan rencana karir di masa mendatang. Menjadi anggota klub atau organisasi tertentu agar mendapat pencerahan dari luar serta bisa berkontribusi lebih luas lagi. Talent yang mengikuti jaringan komunitas yang sesuai dengan karirnya, akan mempercepat perkembangan kematangan pribadi dan kesahihan pengetahuannya.
Komunitas ini dalam generasi Y seperti sekarang ini bisa terjadi di dua arena yang berbeda.
Pertama, arena real artinya komunitas fisik dengan perkenalan secara fisik, pertemuan tatap muka dan berinteraksi secara langsung. Ini tentu mempunyai keterbatasan dan kemaslahatannya sendiri. Semakin selektif tapi mendalam pertemanan dengan komunitas tertentu akan semakin berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian dan kompetensi talent.
Kedua, arena virtual artinya komunitas di dunia maya lewat twitter, facebook, blog, linkedlin dan berbagai komunitas lain. Komunitas professional dalam dunia maya adalah tak terbatas. Kemampuan masing-masing individu untuk ‘tap’ pada kompetensi diluar dengan ‘competent master’ menjadi sangat terbuka. Saya pun sangat merasakan bahwa ‘engage’ dengan para guru di luar sana sangat memperkaya wawasan dan pengetahuan. Bahkan kadang menjadi kesempatan baru untuk mengembangkan karir dan kesempatan berbisnis yang tidak didapat dengan komunitas real.
Talent yang berhasil mengembangkan diri dengan komunitas real dan virtual akan mempercepat perkembangan 3C mereka sendiri. Ini akan berakibat akseptabilitas ketika ia menjadi Star akan semakin tinggi.
Masalahnya banyak perusahaan yang tidak ‘mengijinkan’ para talent berselancar di jam kerja. Banyak yang masih ber’persepsi’ bahwa keaktifan di dunia maya adalah pemborosan waktu dan tidak ada gunanya. Itu sebabnya kanal ini ditutup. Padahal jaman sekarang, talent bisa menembus blokade perusahaan dengan gadget personalnya sendiri. Toh pada akhirnya sama saja, kalau yang ingin menggunakan komunitas virtual untuk sekedar ‘pleasure’ maka itu akan tetap terjadi, sedangkan talent yang ingin tapping pada ‘powerful source of knowledge’ akan tetap berupaya juga dengan gadgetnya sendiri.
Kesimpulannya, lingkungan kerja, keluarga dan komunitas menjadi lingkungan yang harus dibina agar menjadi lahan yang subur bagi munculnya Star dari talent yang ada. Kalau ini tidak dikelola dengan baik oleh talent maupun mentor, maka perkembangan talent akan tersendat.
Untuk direnungkan :
1. Bagaimana perusahaan menjembatani lingkungan komunitas bagi para talent ini ?
2. Seberapa besar anggaran yang dialokasikan untuk mendukung talent aktif di komunitas professional sesuai dengan arah karir yang sedang dijalani ?
3. Sampai seberapa besar komunitas real dan virtual serta lokal dan regional yang harus dikelola agar talent bisa tumbuh dengan cepat lagi ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar