“I am a man” adalah tulisan yang dibawa para demonstran memprotes praktik segregasi (pemisahan rasis orang kulit putih dan kulit hitam) di Amerika Serikat tahun 1960-an silam. Tokoh perjuangannya kita kenal Dr. Martin Luther King. Yang intinya, orang kulit hitam protes karena diperlakukan tidak adil, tidak setara, tidak ber-perasaan, mereka tidak diperlakukan layaknya manusia se-utuhnya. Maka mereka berteriak “I am a man” (saya adalah manusia). Oke, cerita lengkapnya anda bisa googling, sebenarnya saya ingin bicara konteks sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan; yang kadang-kadang juga berkata “I am a man”.
Hanya menggaji?
Reward adalah timbal balik perusahaan kepada karyawannya. Karyawan sejatinya bekerja keras, tertib, jujur, lalu seperti apa timbal balik perusahaan? Biasanya dengan gaji bulanan atau per project. Ada juga sistem komisi dengan prosentase tertentu. Memang salah satu kewajiban perusahaan adalah menggaji karyawan, itu benar, tapi tidak benar-benar BENAR. Perusahaan bisa terjebak pada pandangan sempit “hanya menggaji”, yang penting transfer gaji ke rekening, beres. Di sisi lain karyawan kadang juga terjebak pada pandangan sempit bahwa datang ke kantor demi rupiah. Tidak salah memang, tapi kepuasan kerja (job satisfaction) datang dari banyak sisi. Gaji hanya salah satu. Sisi lain misalnya kondisi kerja, hubungan dengan atasan/rekan kerja, tantangan pekerjaan, kecocokan profil diri dengan profil pekerjaan dan lainnya.
Tentu manusia ingin diperlakukan layaknya manusia, bukan diperlakukan sebagai tumbuhan, hewan atau dalam konteks dunia kerja diperlakukan sebagai alat produksi. Alat produksi yang kaku, tidak punya perasaan, bak mesin “di-operasikan” tapi tidak dihargai. Di-operasikan maksudnya karyawan yang penting diberi gaji, beres. Fokusnya yang penting perusahaan menjalankan SOP payroll. That’s it. Bagaimana sebenarnya perusahaan menghargai karyawan? Apakah perusahan cukup memiliki mindset “hanya menggaji”? Benarkah karyawan hanya ingin gaji?
Manajemen Rasa
Padahal, di dalam pikiran karyawan tidak selalu soal uang/gaji. Kadang karyawan hanya ingin mendengar apresiasi tepukan di pundak “terima kasih” atau “good job!” dari perusahaan atas effort-nya, atas kerja keras-nya. Mereka ingin work hard di-respons dengan heart, not just money. Karyawan berharap hasil karya-nya mendapat pengakuan (recognition). Memang perusahaan berterima kasih kepada karyawan dengan memberi uang/komisi, tapi ucapan tulus “terima kasih” akan menyentuh sisi “human”-nya.
Dengan ucapan “terima kasih” perusahaan menempatkan keberadaan karyawan sebagai manusia, bukan sekedar alat perusahaan. Dengan ucapan “terima kasih”, perusahaan berarti dalam rangka memperlakukan manusia, bukan meng-operasikan. Dengan ucapan “terima kasih”, perusahaan kembali secara natural bahwa semua orang di perusahaan hanyalah manusia biasa yang punya hati. Jadi yang di-touch “human”-nya, bukan “dompet”-nya.
Mengakui kontribusi serta kerja keras karyawan menjadi bagian penting bagi kemajuan perusahaan. Setiap orang mesti ingin merasa hasil kerjanya dihargai, di-apresiasi sehingga mereka merasa utuh sebagai manusia (human). Di beberapa restoran fastfood kita bisa lihat pigura “Employee of the Month”, ada fotonya. Kalo dipikir buat apa dipajang? Bukan-kah itu urusan internal? Sebenarnya poinnya perusahaan ingin menghargai manusia. Perusahaan ingin memotivasi, memberi semangat tidak dengan uang. Manajemen rasa ini tidak lah mahal, lagian setahu saya ucapan “terima kasih” masih gratis.
Sentuh “human”-nya
Apapun jenis industrinya, besar atau kecil, berat atau ringan, perusahaan harus tetap pada kesadaran bahwa penghargaan, pengakuan (recognition) terhadap karyawan bukan hanya uang, bentuk apresiasi kepada karyawan bisa kreatif. Di Intel, karyawan baru diharuskan naik panggung melalui red carpet lengkap dengan fotografer + videografer yang siap mengambil gambar mereka. Plante Moran (perusahaan konsultan), pada musim panas menghadirkan truk es krim Good Humor produk Walls saat makan siang. Hillcorp Energy (perusahaan migas) memberi reward karyawan berupa barbeque party atau pelajaran menunggang kuda. Dapat gambarannya? touch the human, not (just) the wallet. By: Christanto Nugroho
Kini di era MEA 2015 war for talent antar organisasi telah menjadi kenyataan di depan mata kita. Kebutuhan unit kerja, organisasi dan kepesatan peningkatan perusahaan tidak diiringi ketersediaan penawaran profesional yang sepadan. Hal ini mengakibatkan perang talenta memanas hingga ke level tertinggi. Persaingan perekrutan dan pembajakan talenta profesional bahkan menghadirkan praktik perang talenta di luar batas logika akal sehat. The demands for talent for exceeds supply. Manajemen talenta, tak pelak merupakan salah satu isu prioritas yang paling membuat pusing para eksekutif puncak dewasa ini
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar