Tahun 1994, ia masih sangat ingusan ketika diterima sebagai produser junior, jabatan yang sudah lumayan sebagai karyawan pemula, di stasiun TV Shanghai. Sebagai ‘new kid on the block’, Li Ruigang, karyanya dimulai dengan film dokumenter yang acap kali dianggap karya sampingan bagi produser kelas wahid.
Baru setelah Li memunculkan karya dokumenter ‘Perayaan 60 th Long March Partai Komunis China’, ia mulai mendapat perhatian pemirsa, termasuk wakil walikota Shanghai Gong Xuepin yang satu alumnus dengan Li dari Universitas Fudan.
Tujuh tahun berkiprah di dunia media, membuat ketenaran Li semakin meroket. Karyanya semakin menarik minat para pencari bakat. Entah kenapa tahun 2001 Li memutuskan untuk ‘pause’ sejenak dan mencari inspirasi dan wawasan baru di Universitas Columbia Amerika Serikat, padahal usianya sudah terbilang lumayan yakni 32 tahun dan karirnya sudah mulai mapan. Bukan sekedar mencari ilmu tapi ia juga mencari format baru untuk mengembangkan saluran media di China.
Li memang manusia penuh ide yang mampu ‘melihat’ dengan cermat melalui mata dan hatinya. Kepekaannya yang tajam membuat setahun di negeri Paman Sam sudah seperti lima tahun mahasiswa lain yang ke sana hanya sekedar mencari ilmu dan mencari nilai.
Tahun 2002, pemerintah daerah Shanghai memutuskan pembentukan ‘Holding Company’ untuk semua medianya yang meliputi 15 saluran TV, 11 saluran radio, 8 koran dan majalah serta 30 media digital dalam berbagai ‘platform’. Kendati integrasi bisnis, apalagi di China tidaklah sesulit di negara lain karena gaya manajemen sentralistik masih kental, yang menjadi tantangan adalah siapa yang bisa dijadikan CEO yang membuat transformasi ini berjalan lancar seperi layaknya kampiun transformator sekaliber Robby Djohan.
Li masuk radar, ia ditawari memimpin bahemot media ini dengan menjadi mogulnya di usia 33 tahun. Sangat tidak lazim sebenarnya, karena masih banyak anggota politbiro lain yang lebih tua dan pengalaman. Li berujar ketika ditanya kenapa ia yang terpilih, ‘They select people who are young and can run business for a long time. I got their trust. They thought I was reliable’, ujarnya di majalah Forbes Asia edisi Oktober 2013 ini.
Di bawah kepemimpinannya Shanghai Media bertumbuh empat kali lipat dari $300 juta menjadi $1,2 milyar hanya dalam waktu tujuh tahun. Jemarinya semakin cermat menggaet kerjasama dengan Sony, Viacom dan CNBC. Tahun 2011, Li mengundurkan diri dari Shanghai Media untuk menjajal horizon baru yakni sebagai ‘Governent Equity Fund’ CEO.
Pengalaman ini menarik saya. Sebagai pemerhati sekaligus praktisi SDM saya membayangkan bagaimana menciptakan Li baru di usia muda, setidaknya di bawah 40 tahun, yang siap menjadi CEO menggantikan yang sekarang yang sudah di atas kepala lima di bisnis yang saya pimpin.
Saya mendiskusikannya dengan mereka, saya ingin tahun 2020 seluruh bisnis unit ini dipimpin oleh kader yang masih berkepala tiga dengan maksimal usia 45. Ini tantangan yang saya jadikan target pribadi ketika saya turun kursi nanti.
Dari hasil diskusi tersebut, saya menyimpulkan TEMPO (lihat edisi sebelumnya bagi yang ingin mengetahui secara rinci) adalah jawabannya. Secara konseptual dan kontekstual TEMPO adalah kerangka kerja yang terstruktur. Yang segera perlu ditindaklanjuti adalah tiga keberanian melengkapi TEMPO yang hanya bisa dilakukan oleh CEO pendahulu.
Pertama, keberanian untuk ‘promote first, development later‘, mengangkat dulu baru memberi pendidikan kemudian. Ini yang sering jadi penghambat. Terlalu sering mengevaluasi kemampuan calon hanya dengan bayangan teoritis. ‘Terjunkan saja ia ke sungai sebagai CEO, kalau ia memang kader cakap ia akan cari cara untuk ‘survive’ kalau gagal dan tenggelam ganti dengan yang lain’, itu motto yang sering saya pompakan.
Kami bersepakat membuat kejutan ini dengan berani mencoba dua kepala divisi HRD menjadi calon CEO di bisnis teknologi informasi dan ‘GM’ bisnis logistik. Dan banyak lagi kader muda yang akan langsung diberi kesempatan jadi CEO mulai dari perusahaan kecil terlebih dulu.
Kedua, keberanian untuk ‘hands off’ dan ‘stay behind’. Memberi kesempatan mereka bergaya dengan cara mereka sendiri. ‘Encourage’ mereka meninggalkan mantra ‘melanjutkan program dan gaya pemimpin yang terdahulu’. Ini akan membentuk CEO dengan lebih cepat dan kuat karena mereka menjadi diri sendiri tidak berada dalam bayang bayang pendahulu. Astra sangat berpengalaman dalam hal ini, Om William yang seperti gas, digantikan Pak Benjamin yang seperti rem. Lalu muncul Pak Teddy yang seimbang antara entre dan intra preneur. Disusul oleh Ibu Rini, Pak Teddy, Pak Budi, Pak Michael dan sekarang Pak Prijono yang sangat berbeda gayanya.
Ketiga, keberanian untuk ‘replace and rotate as much as you can to enrich their exposure’. Semakin banyak pengalaman semakin matang seseorang jadi CEO di perusahaan yang lebih besar. Semakin sempit dan hanya di satu jalur saja, semakin kecil kemungkinan untuk menjadi ‘great leader’.
Nah, keberanian ini tentu tidak mudah. Ada kalkulasi ‘risk’ dan ‘return’nya. Ada pertimbangan ‘failure’ dan ‘fortune’ nya. Anda pilih yang mana ?
Kini di era MEA 2015 war for talent antar organisasi telah menjadi kenyataan di depan mata kita. Kebutuhan unit kerja, organisasi dan kepesatan peningkatan perusahaan tidak diiringi ketersediaan penawaran profesional yang sepadan. Hal ini mengakibatkan perang talenta memanas hingga ke level tertinggi. Persaingan perekrutan dan pembajakan talenta profesional bahkan menghadirkan praktik perang talenta di luar batas logika akal sehat. The demands for talent for exceeds supply. Manajemen talenta, tak pelak merupakan salah satu isu prioritas yang paling membuat pusing para eksekutif puncak dewasa ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar