Kini di era MEA 2015 war for talent antar organisasi telah menjadi kenyataan di depan mata kita. Kebutuhan unit kerja, organisasi dan kepesatan peningkatan perusahaan tidak diiringi ketersediaan penawaran profesional yang sepadan. Hal ini mengakibatkan perang talenta memanas hingga ke level tertinggi. Persaingan perekrutan dan pembajakan talenta profesional bahkan menghadirkan praktik perang talenta di luar batas logika akal sehat. The demands for talent for exceeds supply. Manajemen talenta, tak pelak merupakan salah satu isu prioritas yang paling membuat pusing para eksekutif puncak dewasa ini

Jumat, 12 Desember 2014

Summary On Talent Management 4.0 : TEMPO

Sebagai kesimpulan dan insight dari apa yang sudah saya tuliskan tentang ‘talent management’, berikut ini beberapa point penting bisa kita petik.

Pertama, keberhasilan perusahaan dalam jangka panjang adalah memenangkan persaingan di pasar. Persaingan teknologi, proses, produk akan semakin sengit. Dengan dibukanya keran penutup yang selama ini dijaga oleh masing-masing negara, maka persaingan menjadi lebih ganas dan dahsyat di beberapa tahun mendatang. Hanya perusahaan yang memiliki basis teknologi, proses dan produk yang baik akan mampu memetik keuntungan dengan dibukanya pasar tersebut. Negara dan perusahaan yang memiliki ‘power’ sebagai ‘natural owner’ akan semakin kuat dengan tiadanya hambatan birokrasi dan peraturan yang selama ini menjadi susu bagi perusahaan di negara tetangga yang tidak mau bersiap diri.

Kedua, agar perusahaan memiliki kekuatan sebagai ‘natural owner’ yang solid dalam hal teknologi, proses dan produk maka kekuatan utamanya adalah sumber daya manusia. Ini adalah kunci pokok kemenangan di era persaingan bebas. Peperangan antar perusahaan akan beralih dari peperangan produk menjadi peperangan sumber daya manusia. Siapa yang memiliki SDM terbaik akan menjadi pemenang. Ini tidak dapat ditunda lagi, ASEAN 2015 dan AFTA 2020 sudah di depan pintu. Para ahli dan tenaga kerja trampil dari ASEAN akan membanjiri Indonesia karena memiliki pasar yang sangat besar dan kelas menengah potensial yang sangat menjanjikan.

Ketiga, mengingat persaingan adalah soal SDM, perusahaan perlu menata lagi fokus perhatiaannya soal SDM. CEO yang dulunya memandang sebelah mata fungsi ini, sekarang harus kembali turun gunung dan menjadi ‘leader’ di bidang ini, Minimal 40 persen waktunya harus digunakan untuk memikirkan strategi dasar soal SDM ini. Kalau tidak perusahaannya akan ditinggalkan talent terbaik dan tidak ada calon talent yang mau bergabung di perusahaan ini.

Keempat, pergerakan buruh di era demokrasi terbuka semacam ini akan semakin kuat. Tuntutan untuk dimanusiakan dan dianggap mitra pengusaha akan makin tinggi. Pimpinan perusahaan tidak boleh menggunakan kekuatan otot dan aparat untuk memberangus gerakan ini. Sudah usang menggunakan pendekatan ancaman dan pendekatan represif lain. Diperlukan talent yang kuat dan ‘smart’ agar mampu menjadi jembatan antara buruh dan pengusaha.

Kelima, dari keempat pokok pemikiran tersebut, pengembangan talent harus disusun dengan kerangkan yang sistematis, terstruktur dan mendapatkan komitmen yang paling tinggi dari jajaran paling atas yakni CEO sampai para direktur dan kepala divisi untuk fokus pada SDM khususnya talent ini.

Cara pengembangan yang saya sebut dengan metoda TEMPO ini bisa dijadikan salah satu masukan agar perusahaan memiliki cara yang terstruktur sehingga talent management ini menjadi dash board yang sama kuatnya dengan dash board financial dan customer seperti profitabilitas dan pangsa pasar. Sampai sejauh mana pangsa pasar kita di bidang talent di pasar tenaga kerja saat ini? Sampai sejauh mana daya saing kapabilitas talent kita dibandingkan dengan pesaing? Sampai sedalam mana komitmen nilai luhur di talent dalam menjalankan bisnis dengan GCG? Sampai seberapa kuat ‘engagement’ talent terhadap value dan visi perusahaan? Pertanyaan itu haruslah menjadi pertanyaan di tingkat board dan menjadi kegalauan para anggota board kalau hasilnya tidak sesuai dengan harapan mereka.

Sayangnya, program pengembangan talent ini tidak bisa dimulai dari bawah, bottom up approach adalah pendekatan yang salah. Ini harus dimulai dan diakhiri oleh orang atas alias top down approach. CEO harus mau tahu dan mampu tahu soal talent ini. CEO harus berkomitmen mempimpin sendiri pengembangan talent ini. Kalau tidak, ini hanya jadi aktivitas team HRD/SDM yang hanya bagus di kertas tapi tidak memiliki jiwa yang kuat di perusahaan.

Nah, ini menjadi lampu merah dan lampu kuning bila CEO tidak sadar bahwa fokus terhadap talent sudah tidak bisa ditunda lagi, Mulailah sekarang, saat ini dengan mengindentifikasi talent yang terbaik (T), mempersiapkan lingkungan yang kondusif agar talent bisa berkembang dengan baik (E), menugaskan setiap pimpinan untuk menjadi mentor yang berdedikasi tinggi buat setiap talent (M), memberi tempat latihan yang cukup agar talent bisa mengembangkan kreasinya tanpa dihambat oleh birokrasi yang selama ini memenjarakan pertumbuhan perusahaan (P) dan akhirnya memberi kesempatan talent untuk duduk di ‘captain seat’ dalam menjalankan ide nya (O).

Saya yakin, kalau ini dijalankan dengan konsisten, perusahaan akan mendapat buahnya. Ia menjadi perusahaan yang dicintai karyawannya dan diinginkan oleh talent dari luar untuk menjadi perusahaan tempatnya bekerja suatu saat nanti. Bukankah ini menjadi idaman setiap CEO, kalau kita mau pensiun sudah banyak talent yang siap menggantikan kita dan kualitasnya jauh di atas kita? Paulus Bambang WS


Tidak ada komentar:

Posting Komentar