Kini di era MEA 2015 war for talent antar organisasi telah menjadi kenyataan di depan mata kita. Kebutuhan unit kerja, organisasi dan kepesatan peningkatan perusahaan tidak diiringi ketersediaan penawaran profesional yang sepadan. Hal ini mengakibatkan perang talenta memanas hingga ke level tertinggi. Persaingan perekrutan dan pembajakan talenta profesional bahkan menghadirkan praktik perang talenta di luar batas logika akal sehat. The demands for talent for exceeds supply. Manajemen talenta, tak pelak merupakan salah satu isu prioritas yang paling membuat pusing para eksekutif puncak dewasa ini

Senin, 15 Desember 2014

Talent Identification – 3C Summary

Kesimpulan yang bisa kita dapatkan dengan menggunakan metoda 3C dalam mengidentifikasi talent adalah bahwa seorang Talent harus memiliki Calling yang kuat, Character yang baik dan Competencies yang prima. Calling akan membuat mereka siap Sacrifice (Siap Berkorban), Character akan mendorong mereka untuk terus bersikap Sincere (Tulus) dan Competencies akan mempertajam kecerdikan mereka dalam menghadapi kehidupan ini (Smartness). Sacrifice, Sincerity and Smartness adalah bentuk pengejawantahan dari Calling, Character dan Competencies mereka.

Pada Prakteknya, identifikasi yang paling mudah dilakukan adalah aspek Competencies, yang akan menunjukkan Smartness seorang calon. Ini sangat mudah dievaluasi dan dibandingkan seseorang dengan orang lain dengan ‘yard stick’ yang sama. Bisa diukur secara lebih objektif siapa yang lebih berkompeten. Dapat dilihat hasilnya dengan key performance indicator yang terukur, siapa yang paling banyak memberikan kontribusinya.

Itu sebabnya banyak yang terjebak dengan hal ini. Kompetensi dianggap sega-galanya. Orang pinter yang menonjol dianggap talent. Hasil training yang istimewa dianggap berpotensi sebagai talent. Dalam diskusi kelompok maupun debat, orang yang smart selalu mendominasi pembicaraan. Orang yang pinter berpidato dan mempesona bagai motivator dan inspirator sering mempesona evaluator. Sehingga banyak orang terperosok dengan salah satu faktor ini. Padahal ini adalah salah faktor saja. Ini yang harus diperhatikan dengan seksama.

Smartness juga sering diidentifikasikan dengan kepandaian intelektual biasa, padahal kecerdikan dan kepintaran adalah dua hal berbeda. Cerdik tidak selalu menonjol dalam hal intelektual tapi mampu menyiasati dengan cara yang kreatif. Itu sebabnya sering dilambangkan dengan si kancil yang cerdik ataupun si ular yang cerdik. Si kancil memperdaya serigala atau singa yang akan memangsanya dan si ular memperdaya Adam dan Hawa memakan buah terlarang.

Aspek kedua yang sedikit lebih sulit adalah soal Character. Sincerity yang ditunjukkan oleh Character memerlukan pendalaman yang lebih intensif karena bukan hanya dari sikap luar tapi termasuk motivasi yang ada di dalam. Tulus seperti merpati begitu kata orang bijak menunjukkan sesuatu pribadi yang bekerja tanpa pamrih, tidak ada hidden agenda, apa yang dikata sama dengan yang dipikir dan tidak mendua hati. Ini memerlukan interaksi secara kontinyu. Identifikasi ini perlu melibatkan atasan langsung, kolega atau peer yang pernah bekerja secara bersama dan tentunya anak buah. Apalagi kalau identifikasinya setelah melewati beberapa siklus krisis manajemen, akan lebih mudah diidentifikasi kemurnian characternya.

Setelah dipromosi, apakah karakternya berubah? Setelah mendapat kekuasaan, apakah karakternya berubah? Setelah mendapat kekayaan, apakah karakternya berubah? Setelah menjadi ‘inner circle” dari pemimpin puncak, apakah dia berubah? Ujian posisi, kekayaan dan kekuasaan adalah ujian tersahih untuk menguji hati seseorang.

Aspek ketiga yang paling sulit diidentifikasi adalah aspek Calling karena Sacrifice yang menunjukkan bukti nyata dari calling ini merupakan hal yang paling dalam dalam hati manusia. Pengorbanan yang tulus, lebih memilih pada purpose dibandingkan posisi, lebih memilih pada nilai-nilai (values) dibandingkan pada kekayaan (numbers). Ini sangat berhubungan dengan keyakinan talent pada Tuhan yang maha Esa.

Kalau talent hanya takut pada Shareholder maka ia berkorban sedikit, selalu berhitung ‘take and give’. Kalau talent senantiasa memikirkan Stakeholder maka ia mulai berpikir holistik untuk kepentingan seluruh pemangkunya. Sedangkan kalau ia berpikir bahwa ia harus mempertanggungjawabkan semua pekerjaan dan hidupnya pada Soulholder maka ia akan bertindak hati-hati dan siap berkorban apa saja karena tahu ‘God is the ultimate Boss.’

Kalau identifikasi yang kita lakukan tepat -harus dilakukan secara konsisten dengan komitmen tinggi dan berkesinambungan – maka akan dengan mudah kita mengembangkan si talent menuju puncak. Tidak mudah tetapi bukan tidak mungkin.


Pertanyaan untuk direnungkan :

1. Sampai seberapa kuat komitmen Anda mengevaluasi talent dengan 3C ini ?

2. Siapa saja yang dilibatkan dalam evaluasi ini ?

3. Seberapa sering evaluasi ini dilakukan ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar