Character is a choice. Character is perfectly educated will.
Pertanyaan pertama yang sering dilontarkan sekarang, kalau kita identifikasi karakter talent, apakah karakter itu suatu ‘gift’ alias ‘dari sononya’ atau merupakan suatu hal yang bisa dikembangkan?
Saya penganut karakter ini, soft character atau professional character, ini sebagai suatu hal yang bisa dikembangkan. Itu sebabnya banyak program tentang Character Development. Kalau tidak mungkin dikembangkan tidak akan ada program pengembangan karakter. Justru karena potensi untuk dikembangkan sangat besar, maka identifikasi benih karakter ini harus dilakukan sejak awal untuk dikembangkan secara maksimal.
“When a man found the mirror, he began to lose his soul. The fact is, he became more concerned with his image than with himself”
Ketika seseorang timbul kesadaran diri akan adanya hukum resiprokal dan hukum tabur tuai, maka ia akan senantiasa waspada dan akan mengembangkan suatu karakter yang bukan hanya baik bagi dirinya sendiri tapi baik bagi orang lain. Ketika ia memberikan hati bagi orang lain, maka lambat laun seluruh manusia yang diberi hatinya akan memberi hatinya kepadanya. Satu hati akan diganjar dengan beribu hati.
Demikian juga dalam pengelolaan perusahaan, pemimpin yang menutup pintu hatinya bagi manusia lain akan mendapat balasan setimpal, ia tidak mendapat penghormatan sebagai manusia yang bermartabat tetapi hanya sebagai manusia yang memberi materi.
Itu sebabnya, memilih karakter mana yang akan dikembangkan adalah pilihan yang senantiasa harus dilakukan. Ini bukan persoalan sekali memilih tapi sepanjang hidup harus terus-menerus memilih. Setiap pagi harus terus memilih. Lama kelamaan, pilihan yang konsisten dan berkesinambungan akan membuat karakter yang dipilihnya menjadi satu dengan dirinya. Ia akan berkembang sesuai dengan pilihan karakternya dan karakternya menjadi idenditas diri. Karakter telah menjadi ’the way of being.’
Pertanyaan kedua yang juga sering menghantui banyak orang adalah: Mengapa banyak orang yang berubah sikap ketika menduduki kursi nomor satu padahal selama ia menduduki kursi nomor dua ia berperilaku lain?
“Hampir semua orang dapat bertahan dalam kesulitan; untuk menguji seseorang, berikan padanya kekuasaan.” Abraham Lincoln
Banyak orang terperanjat tatkala rekan yang dikenal sejak kecil mendadak jadi “berubah” ketika sudah duduk di kursi pimpinan tertinggi suatu organisasi. Berubah dalam arti sikap, perilaku, kebiasaan sampai tatacara protokoler yang tidak biasa dilakukan.
“Padahal,” celetuk yang lain, “Ketika ia masih jadi orang nomor dua, ia masih seperti kawan yang kita kenal dulu. Pola pikir dan sikapnya masih bersahaja.” Komentar macam begini sudah sering kita dengar. Bahkan sangat sering kita lihat tatkala seseorang dipromosi menjadi orang nomor satu, mendadak sontak ia memperlihatkan sosok dirinya yang berbeda dengan yang selama ini ia perlihatkan ketika menjadi orang kedua, ketiga atau urutan berikutnya.
Kursi nomor satu, dalam arti harafiah adalah pimpinan tertinggi dari unit organisasi, hampir selalu membuat perubahan mendasar bagi orang yang mendudukinya. Secara profesi, ini adalah titik perubahan dari ikut bertanggung jawab dan bertanggung gugat menjadi bertanggung jawab dan bertanggung gugat sepenuhnya. Secara psikologis, ia berubah menjadi tuan, boss, bapak dan yang paling dituakan di organisasi yang harus selalu mengambil keputusan akhir atau paling tidak bertanggung jawab akhir terhadap keseluruhan tugas organisasi yang dipimpinnya.
Kursi nomor satu ini yang sering saya sebut sebagai ‘kursi perubahan.’ Begitu duduk, seseorang akan dituntut untuk berubah. Dari bertanya menjadi menjawab. Dari menunjuk kesalahan menjadi ditunjuk kesalahan. Setiap kalimat harus dipikirkan dengan seksama. Tidak dapat sekadar asal komentar atau ‘saya kan hanya bertanya.’ Yang dikatakan, entah ia sungguh-sungguh berkata atau hanya menjual ide, dijadikan ‘sabda pandita ratu’ bagi teman diskusi yang kebetulan disebut karyawan.
Hampir selalu orang yang duduk di kursi ini akan mengalami perubahan. Ini karena tuntutan posisi dan kedagingan ketika berada di tampuk kekuasaan. Yang berubah negatif, mendadak keluarnya ’peringai asli’ dan ’pribadi asli’ yang selama ini terpendam rapi sampai pada orang kedua. Itu berarti dapat ’dormant’ selama puluhan tahun. Ketika kesempatan itu muncul, sifat asli akan muncul. Di kursi perubahan, semua yang tak pernah terduga akan muncul atau dimunculkan.
Perubahan ke arah positiflah yang dinanti orang. Artinya ia berubah dan perubahan itu membawa suasana baru yang amat segar. Suasana yang amat berbeda dengan kepemimpinan sebelumnya. Dari kondisi tertekan menjadi bebas. Dari tak jelas arah yang mau ditempuh menjadi tujuan yang sangat jelas, terarah dan mampu menggairahkan seluruh komponen organisasi.
Perubahan ini setidaknya disebabkan oleh lima perubahan mendasar yang dilakukan oleh pemangku jabatan ketika duduk di kursi panas alias kursi nomor satu (POWER).
Pertama, Purpose of the Leader (P).
Kalau maksud dan tujuan menjadi pimpinan adalah meraih kekuasaan (Power) semata, maka runtuhlah seluruh aspek kepemimpinan (leadership) yang akan ia praktekkan. Perubahan negatif yang akan terjadi. Sebaliknya kalau tujuan menjadi pimpinan adalah untuk mewujudkan cita-cita besarnya menyejahterakaan yang dipimpinnya, maka kekuasan adalah alat untuk mewujudkan tujuan. Pemimpin membutuhkan ‘power to make the difference’ bukan sebaliknya. Kalau yang terjadi sebaliknya maka muncullah sindrom ‘power tends to corrupt, absolute power corrupt abosultely.’ Maka, perubahan positif yang akan muncul.
Kedua, Objective of the Leader (O).
Sasaran atau target seorang menjadi pimpinan menunjukkan kualitas ’purpose’ dalam angka metriks yang dapat dirasakan seluruh komponen organisasi. Bukan sekadar ‘melanjutkan pendahulu saya,’ kalimat sopan yang hanya baik untuk suguhan di pidato sambutan. Sasaran dan target baru yang menantang yang membawa ‘new horizon’ inilah yang dinantikan oleh seluruh pemangku kepentingan. Objective yang mampu meningkatkan daya saing pada tingkat, next target, next level and next landscape akan membawa suasana segar. Ini akan memunculkan perubahan positif yang berdampak pada ‘excitement’ di semua tingkatan.
Ketiga, Wisdom (W) sebagai kemampuan pembeda di atas ketrampilan, pengetahuan dan pengertian.
Kapabilitas ini yang sangat diharapkan oleh yang dipimpin. Akumulasi dari pengalaman dan pendalaman dari berbagai situasi yang sudah dilakoninya. Kemampuan menyinergikan hand, head dan heart. Mampu membaca situasi lingkungan dan kecenderungan dari data yang tidak terlihat.
Keempat, Empower the team (E).
Pemimpin yang memiliki wisdom akan mampu memberdayakan kekuatan seluruh perangkat organisasi. Tak heran Woodrow Wilson, mantan presiden Amerika pernah berujar bahwa ia tak hanya mau menggunakan otaknya tapi semua otak yang dapat dipinjamnya. Itu bukan berarti ia kurang pintar, tapi ia adalah sangat pintar karena mampu menggunakan kepintarannya untuk menggunakan pintarnya seluruh team pendukungnya.
Bahkan menurut rekan saya, Mr Pongki, begitu saya sering berseloroh, keberanian memberi kesempatan pada karyawan ini adalah bukti dari ‘open mind spirit.’ Makin berani memberi ‘empower’ maka ‘power’ dirinya semakin besar. Itu yang dicetuskan Henry Ford dengan kata bijaknya: ”Rahasia kesuksesan seorang pemimpin adalah kemampuan mendapatkan sudut pandang orang lain dan melihat segalanya dari sudut pandangnya, selain dari sudut pandang dirinya sendiri.”
Kelima, Return as a Score Card (R).
Inilah ukuran sejati. Kalau tujuannya menyejahteraan rakyat, sasarannya memangkas angka kemiskinan, didukung wisdom dan keberanian memberikan kesempatan karyawan untuk mengolah ide dan melaksanakan, maka ukuran sejati adalah seberapa besar rakyat makin sejahtera. Bukan pooling popularitas kepemimpinan yang semakin naik atau turun atau dipilihnya kembali dalam pemilihan pemimpin yang kedua, ketiga atau seterusnya.
Terpilihnya kembali kadang bukan disebabkan karena kinerja kepemimpinan tapi kepentingan kepemimpinan. Karena ada kepentingan lain, maka ia tetap dipilih menjadi pemimpin. Pemimpin macam beginilah yang akan membebani organisasi untuk maju. Apalagi kalau pemimpin yang duduk di kursi perubahan itu karena ia memiliki kartu ’truf’ yang menyebabkan pimpinan di atasnya tidak mungkin memilih yang lain. Ia adalah pemimpin yang berada di power point karena power. Ini adalah kepemimpinan gaya preman dengan truf di tangan yang tak terlihat oleh karyawannya.
Sebaliknya kalau POWER point ini dicapai karena ia memang dibutuhkan oleh organisasi bukan oleh kepopuleran populis semata, maka ia berani menantang kursi itu karena bukan kursi pimpinan lah yang menjadi tujuannya tapi kursi itu dibutuhkan untuk mewujudkan mimpinya membawa perbedaan yang tak terlihat oleh orang lain. Ini yang disebut sebagai ’to aspire leadership is a great ambition.’
Tabel: contoh beberapa karakteristik dan perilaku yang ditampilkan
Pertanyaan pertama yang sering dilontarkan sekarang, kalau kita identifikasi karakter talent, apakah karakter itu suatu ‘gift’ alias ‘dari sononya’ atau merupakan suatu hal yang bisa dikembangkan?
Saya penganut karakter ini, soft character atau professional character, ini sebagai suatu hal yang bisa dikembangkan. Itu sebabnya banyak program tentang Character Development. Kalau tidak mungkin dikembangkan tidak akan ada program pengembangan karakter. Justru karena potensi untuk dikembangkan sangat besar, maka identifikasi benih karakter ini harus dilakukan sejak awal untuk dikembangkan secara maksimal.
“When a man found the mirror, he began to lose his soul. The fact is, he became more concerned with his image than with himself”
Ketika seseorang timbul kesadaran diri akan adanya hukum resiprokal dan hukum tabur tuai, maka ia akan senantiasa waspada dan akan mengembangkan suatu karakter yang bukan hanya baik bagi dirinya sendiri tapi baik bagi orang lain. Ketika ia memberikan hati bagi orang lain, maka lambat laun seluruh manusia yang diberi hatinya akan memberi hatinya kepadanya. Satu hati akan diganjar dengan beribu hati.
Demikian juga dalam pengelolaan perusahaan, pemimpin yang menutup pintu hatinya bagi manusia lain akan mendapat balasan setimpal, ia tidak mendapat penghormatan sebagai manusia yang bermartabat tetapi hanya sebagai manusia yang memberi materi.
Itu sebabnya, memilih karakter mana yang akan dikembangkan adalah pilihan yang senantiasa harus dilakukan. Ini bukan persoalan sekali memilih tapi sepanjang hidup harus terus-menerus memilih. Setiap pagi harus terus memilih. Lama kelamaan, pilihan yang konsisten dan berkesinambungan akan membuat karakter yang dipilihnya menjadi satu dengan dirinya. Ia akan berkembang sesuai dengan pilihan karakternya dan karakternya menjadi idenditas diri. Karakter telah menjadi ’the way of being.’
Pertanyaan kedua yang juga sering menghantui banyak orang adalah: Mengapa banyak orang yang berubah sikap ketika menduduki kursi nomor satu padahal selama ia menduduki kursi nomor dua ia berperilaku lain?
“Hampir semua orang dapat bertahan dalam kesulitan; untuk menguji seseorang, berikan padanya kekuasaan.” Abraham Lincoln
Banyak orang terperanjat tatkala rekan yang dikenal sejak kecil mendadak jadi “berubah” ketika sudah duduk di kursi pimpinan tertinggi suatu organisasi. Berubah dalam arti sikap, perilaku, kebiasaan sampai tatacara protokoler yang tidak biasa dilakukan.
“Padahal,” celetuk yang lain, “Ketika ia masih jadi orang nomor dua, ia masih seperti kawan yang kita kenal dulu. Pola pikir dan sikapnya masih bersahaja.” Komentar macam begini sudah sering kita dengar. Bahkan sangat sering kita lihat tatkala seseorang dipromosi menjadi orang nomor satu, mendadak sontak ia memperlihatkan sosok dirinya yang berbeda dengan yang selama ini ia perlihatkan ketika menjadi orang kedua, ketiga atau urutan berikutnya.
Kursi nomor satu, dalam arti harafiah adalah pimpinan tertinggi dari unit organisasi, hampir selalu membuat perubahan mendasar bagi orang yang mendudukinya. Secara profesi, ini adalah titik perubahan dari ikut bertanggung jawab dan bertanggung gugat menjadi bertanggung jawab dan bertanggung gugat sepenuhnya. Secara psikologis, ia berubah menjadi tuan, boss, bapak dan yang paling dituakan di organisasi yang harus selalu mengambil keputusan akhir atau paling tidak bertanggung jawab akhir terhadap keseluruhan tugas organisasi yang dipimpinnya.
Kursi nomor satu ini yang sering saya sebut sebagai ‘kursi perubahan.’ Begitu duduk, seseorang akan dituntut untuk berubah. Dari bertanya menjadi menjawab. Dari menunjuk kesalahan menjadi ditunjuk kesalahan. Setiap kalimat harus dipikirkan dengan seksama. Tidak dapat sekadar asal komentar atau ‘saya kan hanya bertanya.’ Yang dikatakan, entah ia sungguh-sungguh berkata atau hanya menjual ide, dijadikan ‘sabda pandita ratu’ bagi teman diskusi yang kebetulan disebut karyawan.
Hampir selalu orang yang duduk di kursi ini akan mengalami perubahan. Ini karena tuntutan posisi dan kedagingan ketika berada di tampuk kekuasaan. Yang berubah negatif, mendadak keluarnya ’peringai asli’ dan ’pribadi asli’ yang selama ini terpendam rapi sampai pada orang kedua. Itu berarti dapat ’dormant’ selama puluhan tahun. Ketika kesempatan itu muncul, sifat asli akan muncul. Di kursi perubahan, semua yang tak pernah terduga akan muncul atau dimunculkan.
Perubahan ke arah positiflah yang dinanti orang. Artinya ia berubah dan perubahan itu membawa suasana baru yang amat segar. Suasana yang amat berbeda dengan kepemimpinan sebelumnya. Dari kondisi tertekan menjadi bebas. Dari tak jelas arah yang mau ditempuh menjadi tujuan yang sangat jelas, terarah dan mampu menggairahkan seluruh komponen organisasi.
Perubahan ini setidaknya disebabkan oleh lima perubahan mendasar yang dilakukan oleh pemangku jabatan ketika duduk di kursi panas alias kursi nomor satu (POWER).
Pertama, Purpose of the Leader (P).
Kalau maksud dan tujuan menjadi pimpinan adalah meraih kekuasaan (Power) semata, maka runtuhlah seluruh aspek kepemimpinan (leadership) yang akan ia praktekkan. Perubahan negatif yang akan terjadi. Sebaliknya kalau tujuan menjadi pimpinan adalah untuk mewujudkan cita-cita besarnya menyejahterakaan yang dipimpinnya, maka kekuasan adalah alat untuk mewujudkan tujuan. Pemimpin membutuhkan ‘power to make the difference’ bukan sebaliknya. Kalau yang terjadi sebaliknya maka muncullah sindrom ‘power tends to corrupt, absolute power corrupt abosultely.’ Maka, perubahan positif yang akan muncul.
Kedua, Objective of the Leader (O).
Sasaran atau target seorang menjadi pimpinan menunjukkan kualitas ’purpose’ dalam angka metriks yang dapat dirasakan seluruh komponen organisasi. Bukan sekadar ‘melanjutkan pendahulu saya,’ kalimat sopan yang hanya baik untuk suguhan di pidato sambutan. Sasaran dan target baru yang menantang yang membawa ‘new horizon’ inilah yang dinantikan oleh seluruh pemangku kepentingan. Objective yang mampu meningkatkan daya saing pada tingkat, next target, next level and next landscape akan membawa suasana segar. Ini akan memunculkan perubahan positif yang berdampak pada ‘excitement’ di semua tingkatan.
Ketiga, Wisdom (W) sebagai kemampuan pembeda di atas ketrampilan, pengetahuan dan pengertian.
Kapabilitas ini yang sangat diharapkan oleh yang dipimpin. Akumulasi dari pengalaman dan pendalaman dari berbagai situasi yang sudah dilakoninya. Kemampuan menyinergikan hand, head dan heart. Mampu membaca situasi lingkungan dan kecenderungan dari data yang tidak terlihat.
Keempat, Empower the team (E).
Pemimpin yang memiliki wisdom akan mampu memberdayakan kekuatan seluruh perangkat organisasi. Tak heran Woodrow Wilson, mantan presiden Amerika pernah berujar bahwa ia tak hanya mau menggunakan otaknya tapi semua otak yang dapat dipinjamnya. Itu bukan berarti ia kurang pintar, tapi ia adalah sangat pintar karena mampu menggunakan kepintarannya untuk menggunakan pintarnya seluruh team pendukungnya.
Bahkan menurut rekan saya, Mr Pongki, begitu saya sering berseloroh, keberanian memberi kesempatan pada karyawan ini adalah bukti dari ‘open mind spirit.’ Makin berani memberi ‘empower’ maka ‘power’ dirinya semakin besar. Itu yang dicetuskan Henry Ford dengan kata bijaknya: ”Rahasia kesuksesan seorang pemimpin adalah kemampuan mendapatkan sudut pandang orang lain dan melihat segalanya dari sudut pandangnya, selain dari sudut pandang dirinya sendiri.”
Kelima, Return as a Score Card (R).
Inilah ukuran sejati. Kalau tujuannya menyejahteraan rakyat, sasarannya memangkas angka kemiskinan, didukung wisdom dan keberanian memberikan kesempatan karyawan untuk mengolah ide dan melaksanakan, maka ukuran sejati adalah seberapa besar rakyat makin sejahtera. Bukan pooling popularitas kepemimpinan yang semakin naik atau turun atau dipilihnya kembali dalam pemilihan pemimpin yang kedua, ketiga atau seterusnya.
Terpilihnya kembali kadang bukan disebabkan karena kinerja kepemimpinan tapi kepentingan kepemimpinan. Karena ada kepentingan lain, maka ia tetap dipilih menjadi pemimpin. Pemimpin macam beginilah yang akan membebani organisasi untuk maju. Apalagi kalau pemimpin yang duduk di kursi perubahan itu karena ia memiliki kartu ’truf’ yang menyebabkan pimpinan di atasnya tidak mungkin memilih yang lain. Ia adalah pemimpin yang berada di power point karena power. Ini adalah kepemimpinan gaya preman dengan truf di tangan yang tak terlihat oleh karyawannya.
Sebaliknya kalau POWER point ini dicapai karena ia memang dibutuhkan oleh organisasi bukan oleh kepopuleran populis semata, maka ia berani menantang kursi itu karena bukan kursi pimpinan lah yang menjadi tujuannya tapi kursi itu dibutuhkan untuk mewujudkan mimpinya membawa perbedaan yang tak terlihat oleh orang lain. Ini yang disebut sebagai ’to aspire leadership is a great ambition.’
Tabel: contoh beberapa karakteristik dan perilaku yang ditampilkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar