Meminjam cerita
Anthony de Mello, suatu waktu ada gadis desa yang hamil tanpa suami. Tentu saja
orang tuanya mengamuk, kemudian memaksa agar putrinya menunjuk lelaki yang
menghamilinya. Di tengah kekalutan, remaja ini kemudian menunjuk orang tua
bijaksana di pinggir hutan. Dan marahlah warga desa, kemudian semuanya memaki.
Di tengah amukan dan cacian warga desa, orang tua bijaksana ini hanya berucap
tenang, “Baiklah!”
Berbulan-bulan
perempuan hamil ini dirawat dengan baik. Tanpa keluhan, tanpa keributan. Merasa
dirinya diperlakukan sangat baik, ibu muda ini dihinggapi rasa bersalah
mendalam kepada orang tua bijaksana tadi. Kemudian ia mengaku ke orang desa
bahwa bukan orang tua bijaksana itu yang menghamilinya, melainkan sejumlah
lelaki tidak bertanggung jawab. Maka kembalilah warga desa ke pinggir hutan
sambil minta maaf. Lagi-lagi orang tua bijaksana ini berucap pelan, “Baiklah.”
Di mata kepintaran, orang tua ini masuk ke dalam kotak kebodohan, tetapi di
mata makhluk tercerahkan orang tua ini sungguh mengagumkan.
Bila boleh jujur,
keseharian manusia di mana-mana penuh kemarahan. Di Amerikat Serikat daftar
kemarahan dengan bahasa sarkastis semakin panjang. Di negeri ini, banyak sekali
hal yang bisa membakar api kemarahan. Terlebih menjelang pemilihan presiden,
tuduh-menuduh dengan judul bohong berseliweran.
Sesungguhya tidak
ada yang berniat marah. Bila digali lebih dalam, manusia mewarisi bibit
kemarahan dari orang tua, sekolah, lingkungan. Bibit ini kemudian disirami
dengan menonton televisi yang berisi perkelahian, radio yang memberitakan
kebencian, media cetak yang laris justru dengan berita kriminalitas, pemimpin
yang miskin keteladanan. Sehingga tanpa perbaikan serius, manusia akan terus
dibakar kemarahan.
Berbeda dari logika
sebagian ilmu kedokteran Barat yang membuang organ tubuh bermasalah, meditasi
mengajarkan untuk mengawasi kemarahan. Tatkala sakit kepala, tidak mungkin
seseorang membuang kepalanya, melainkan merawat kepalanya. Hal serupa terjadi
dengan kemarahan, membuang kemarahan serupa dengan membuang malam dan hanya mau
siang.
Ada beberapa
pendekatan yang tersedia dalam hal ini. Memandang secara mendalam adalah sebuah
pendekatan. Sejujurnya kemarahan terjadi bukan karena godaan orang, melainkan
lebih banyak karena manusia kebanyakan serupa jerami yang sedang terbakar
(baca: iri, dengki, sakit hati dan lain-lain). Godaan yang datang dari luar
mirip angin yang bertiup.
Karena itulah, lebih
disarankan untuk mengawasi bibit kemarahan yang ada di dalam. Tolehlah ke dalam
ketika kemarahan datang, cermati jerami terbakar yang datang dari pikiran
negatif seperti iri dan tidak sabar, tarik napas pelan-pelan, rasakan segarnya
udara yang masuk melalui hidung. Sebenarnya ada rahasia kesegaran, ketenangan,
kebeningan di balik ketekunan menyatu dengan napas. Sebagaimana kita tahu, masa
lalu sudah lewat, masa depan belum datang, satu-satunya uang tunai kehidupan
adalah saat ini. Maka, dalam bahasa Inggris masa kini disebut the present
(hadiah). Indah, sejuk, lembut, itulah hadiah buat mereka yang rajin terhubung
dengan kekinian melalui memperhatikan napas.
Di samping
memperhatikan napas, bibit kemarahan juga bisa diawasi dengan meditasi jalan.
Terutama dengan melihat hakikat semua fenomena (termasuk kemarahan) yang muncul
lenyap sebagaimana langkah kaki. Membadankan dalam-dalam bahwa semuanya muncul
lenyap bisa menjadi awal terbukanya pintu kesabaran. Sebagai tambahan, mengerti
dengan penuh belas kasih bahwa orang yang menyakiti sesungguhnya sedang
menderita, adalah pendekatan lain. Ia yang bisa memandang seperti ini,
mengalami transformasi di dalam. Dari mau melawan menjadi mau menolong.
Dengan demikian,
menyejukkan kemarahan dapat dilakukan dengan kesabaran,terutama karena
kemarahan membuat bumi penuh api. Setelah tersejukan terlihat terang, kita
semua sama yakni mau bahagia. Lebih mudah menjadikan bumi ini tanah suci dengan
melihat kesamaan-kesamaan dibanding bertempur tentang perbedaan.
Dan akhirnya, ketika
seorang ayah ditanya putranya apakah perhiasan yang paling indah, dengan lembut
ia menjawab: “Kesabaran adalah perhiasan yang terindah.” Terutama karena
kesabaran menjadikan bumi ini tanah suci. Dalam bahasa seorang guru, senapan
hanya bisa melenyapkan sejumlah musuh. Namun kesabaran bisa melenyapkan semua musuh.
Inilah ciri manusia yang sudah mengenakan perhiasan terindah kehidupan. Tidak
saja musuhnya lenyap, tetapi semua tempat menjadi tanah suci. by Gede Prama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar