Kini di era MEA 2015 war for talent antar organisasi telah menjadi kenyataan di depan mata kita. Kebutuhan unit kerja, organisasi dan kepesatan peningkatan perusahaan tidak diiringi ketersediaan penawaran profesional yang sepadan. Hal ini mengakibatkan perang talenta memanas hingga ke level tertinggi. Persaingan perekrutan dan pembajakan talenta profesional bahkan menghadirkan praktik perang talenta di luar batas logika akal sehat. The demands for talent for exceeds supply. Manajemen talenta, tak pelak merupakan salah satu isu prioritas yang paling membuat pusing para eksekutif puncak dewasa ini

Senin, 02 Februari 2015

Talent Identification – Calling

Banyak cara untuk mengidentifikasi ‘talent’ atau calon pimpinan yang dianggap potensial. Mulai dari cara ‘beyond natural’ seperti ‘datangnya wangsit saat memandang calon sambil berdoa, ada yang cara ‘behind natural’ seperti yang diyakini oleh beberapa tertentu menyangkut ‘bentuk wajah’ dengan segala modifikasinya atau ‘tanggal kelahiran’ dengan segala perniknya. Sampai pada cara identifikasi yang lebih ‘natural’ yakni dengan melihat perkembangan kinerja serta pengalaman di lapangan sampai teknik mutakhir semacam ‘assessment centre’.

Saya tidak ahli pada dua cara pertama, tapi memiliki sedikit pengalaman menerapkan cara ketiga yakni menggunakan teknik natural dengan pendekatan ‘catatan pengalaman’ serta diperkuat dengan ‘assessment centre’.

Saya memilahnya menjadi tiga aspek utama yang harus dinilai untuk menentukan ‘talent’ di masa mendatang yakni Calling, Character dan Competencies.



Pertama, aspek Calling. Dalam bahasa sederhana adalah ‘keyakinan seseorang akan panggilan hidupnya sesuai dengan apa yang diyakininya secara emotional maupun spiritual’. Ada yang sudah sangat jelas dari permulaan dan ada pula yang menjadi semakin jelas dengan berjalannya waktu.

Mengingat ‘talent’ bukanlah karyawan biasa dan sembarangan melainkan kader yang disiapkan untuk menjadi pimpinan di masa mendatang, penggalian akan aspek pertama ini harus terus dilakukan. Kalau ditemukan suatu keyakinan yang akan berimplikasi negatif terhadap karirnya, pemimpin bisa membimbing agar ‘talent’ bisa menemukan callingnya secara lebih tajam. ‘Calling’ ini berevolusi dan seirama degan hikmat, kebijaksanaan dan pengalaman yang bersangkutan. Itu sebabnya rekam jejaknya perlu diikuti secara kontinyu.

Ada tiga aspek utama untuk mendeteksi secara dini ‘calling’ seseorang’ yakni Value, Mission dan Vision hidupnya.

Pertama, Value bersumber dari pertanyaan dasar “What values do you believe in life (especially in business life) that you won’t compromise?” Ini menggali nilai hidup apa yang dimiliki dan diyakini talent tersebut dalam menjalani hidup ini yang tidak mau dikompromikan.

Misalnya :

1. Saya percaya bahwa keyakinan di agama saya harus dipraktekan di dunia kerja dan saya tidak akan berkompromi dengan peraturan yang saya anggap tidak sesuai dengan agama saya. Lebih baik saya keluar bila dipaksa untuk mengikuti peraturan perusahaan (Spiritual values)

2. Saya tidak mau menyuap apapun bentuknya termasuk melakukan pembukuan ganda karena itu melanggar prinsip kejujuran yang saya ikuti. Kalau pekerjaan saya memaksa saya melakukan hal itu, saya tidak akan mengikutinya (Moral values)

3. Iman dan kebenaran di atas kebahagiaan dan uang. Jadi nilai sukses saya tidak ditentukan oleh uang tapi ditentukan oleh kebenaran yang saya lakukan sehari-hari (Success values)

4. Prinsip bisnis yang saya yakini adalah hutang harus dibayar, yang berhutang menjadi budak yang menghutanginya itu sebabnya janganlah mudah berhutang untuk sekedar mempercepat laju pertumbuhan perusahaan (micro management values)

Kedua, misi hidup seorang talent harus terus digali, tidak secara sesaat tapi suatu continous effort. Misi adalah menjawab pertanyaan “Why does he or she exist?” Ini untuk mengetahui seberapa jauh pemahaman talent akan misi kehidupannya dan relasinya dengan Tuhan Penciptanya. Semakin talent mengenal misinya, semakin mudah buat talent mengenal misi perusahaan dan mampu membawa misi perusahaan menjadi aksi yang dikerjakan sehari-hari. Semakin talent tidak menghiraukan misi hidupnya talent juga akan menganggap enteng soal misi perusahaan. Calon demikian menganggap misi perusahaan hanya sekedar tulisan tak berarti yang dibuat oleh HRD hanya untuk simbol dan sekedar ada saja. Sebagai calon leader misi individu dan misi organisasi harus sangat aligned. Kalau ada ketimpangan maka perjalanan perusahaan juga akan timpang.

Misalnya :

1. Misi hidup saya adalah menciptakan lapangan kerja bagi negara tercinta, itu sebabnya saya akan bekerja keras agar lapangan kerja semakin terbuka dan dengan demikian mengurangi kejahatan di kemudian hari

2. Memberikan kontribusi terbaik sesuai talenta saya di bidang rekayasa untuk menciptakan produk yang bermanfaat bagi manusia

Ketiga, visi seorang talent haruslah kuat. Ini menjawab pertanyaan dasar “What do you want to be?” Ini adalah tujuan jangka panjang calon dan melihat bagaimana dia berupaya untuk mencapai visinya.

Misalnya:

1. Saya akan menjadi pengusaha setelah lengkap belajar sebagai professional

2. Saya ingin menjadi CEO di perusahaan nasional yang besar, itu sebabnya saya belajar di MNC dalam karir awal saya

3. Saya ingin menjadi spesialis di bidang IT untuk menciptakan support system yang diperlukan di perusahaan ini.

Pendalaman akan calling ini harus digali dari hati ke hati, tidak sekedar dengan pertanyaan dangkal seperti “Apa yang Anda pikirkan nilai yang Anda yakini, atau apa yang menjadi misi hidup Anda atau apa yang menjadi visi hidup Anda 10 tahun ke depan?” atau pertanyaan klise semacam “10 tahun lagi Anda ingin menjadi apa dan kira-kira mampu menduduki posisi mana dalam organisasi kita?”

Pendalaman akan calling harus digali dari kehidupan masa lalu dan sekarang semasa dia kuliah, bekerja dan melakukan aktivitas non kurikulernya. Aktivitas non akademik akan lebih tepat menggambarkan visi hidup yang bersangkutan. Apa yang dikerjakan dalam kegiatan ekstra kurikuler itu mampu memberi gambaran yang lebih jelas tentang visi hidup yang bersangkutan termasuk di dalamnya tujuan dan prinsip hidupnya.

Penggalian juga bisa dilakukan terhadap keluarga inti terutama ayah, ibu dan sanak saudaranya. Gambaran aktivitas mereka dalam kehidupan lain selain ‘pekerjaan formal’ akan memberi petunjuk ‘bibit’ dari keluarga terhadap value dan prinsip hidup yang akhirnya akan memudahkan kita untuk melihat aspek ‘calling’ ini.

Lihatlah karyanya di blog, twitter, facebook dan berbagai media social networking lainnya. Pendalaman akan hal ini akan lebih gamblang menunjukkan siapa dia sebenarnya dan apa Value, mission dan vision nya. Celotehan di media luar lebih cepat dan cermat menangkap tulisan hati dibandingkan dengan tulisannya di lembar assessment. Sayangnya banyak perusahaan yang tidak memperhatikan hal ini malahan ada beberapa yang tidak mau tahu apa yang dilakukan calon di media social dan aktivitas sosial di luar jam kerjanya. Ini yang sangat berbahaya. Sekali lagi talent bukanlah karyawan sembarangan harus dipilih dengan ekstra hati-hati, dan memerlukan team SDM yang cukup kuat dan tidak sekedarnya dalam mengumpulkan bahan informasi si calon.

Berdasarkan pengalaman saya ada empat tipe talent yg bisa dihubungkan dengan aspek Calling ini yakni:

1. Talent yang sudah jelas Callingnya sejak awal dan hanya mau berkarir di jalur yang menjadi panggilan atau keyakinannya. Talent jenis ini sudah tahu apa yg dia mau bahkan sampai pada karir puncak yang dia ingin tuju.

2. Talent yang sudah tahu apa yang dia mau tapi sangat fleksible dengan penempatan jalur karir yang dibutuhkan perusahaan. Dia rela mengorbankan idealisme pada jangka pendek namun akan tetap berupaya mencapai callingnya di masa mendatang.

3. Talent yang tidak tahu apa yang dia mau, tapi mau mendengarkan pendapat orang tentang Calling yang menurut orang lain patut ia tekuni.

4. Talent yang tidak tahu apa yang dia mau dan tidak mau tahu akan Callingnya. Baginya hidup mengalir saja tanpa perlu direncanakan. Ia berprinsip kerjakan yang terbaik hari ini dan selanjutnya Caling akan datang dengan sendirinya.

Bila ‘calling’ ini secara tajam bisa diidentifikasi lalu dikembangkan menjadi calling yang positif sesuai dengan kebutuhan pribadi dan organisasi maka calling yang kuat akan memunculkan Charisma dari talent. Orang yang ber-charisma selalu memiliki aspek calling yang kuat selain character dan competencies. Character memunculkan orang baik, competencies memunculkan orang pintar tapi calling memunculkan orang bijak dan ber’charisma.’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar