Ini adalah judul sambutan dalam pidato saya di depan para wisudawan di
University Pierre Mendez, Grenoble-Prancis hari Kamis, 28 Juni lalu. Hari itu,
selain peserta dari Perancis, juga diwisuda lulusan MBA dari berbagai negara
(termasuk dari China, Rusia, Brasil, dan Indonesia).
Menurut saya, bangsa yang hebat adalah a driver nation. "Driver nation" sendiri hanya bisa dihasilkan oleh pribadi-pribadi yang disebut "driver”. Jadi ada tiga hal yang harus dilakukan yaitu bagaimana men-drive diri sendiri (drive your self), men-drive orang lain (bawahan, staf atau drive your people), dan men-drive bangsa (drive your nation). Jadi "driver" itu apa? Bukankah di Indonesia ada jutaan orang yang berprofesi sebagai sopir? Kalau demikian bisakah Indonesia disebut sebagai a driver nation?
Menurut saya, bangsa yang hebat adalah a driver nation. "Driver nation" sendiri hanya bisa dihasilkan oleh pribadi-pribadi yang disebut "driver”. Jadi ada tiga hal yang harus dilakukan yaitu bagaimana men-drive diri sendiri (drive your self), men-drive orang lain (bawahan, staf atau drive your people), dan men-drive bangsa (drive your nation). Jadi "driver" itu apa? Bukankah di Indonesia ada jutaan orang yang berprofesi sebagai sopir? Kalau demikian bisakah Indonesia disebut sebagai a driver nation?
Tentu bukan itu yang saya maksud. Driver adalah sebuah
sikap hidup yang membedakan dirinya dengan "passenger". Anda
tinggal memilih, ingin duduk manis, menjadi penumpang di belakang, atau
mengambil resiko sebagai driver di depan. Duduk di belakang,
Anda boleh duduk sambil ngobrol, makan-makan, bercanda, bahkan ngantuk dan
tertidur. Anda juga tak harus tahu jalan, tak perlu memikirkan keadaan lalu
lintas dan tak perlu merawat kendaraan.
Arah dan Resiko
Driver menentukan arah, membawa penumpang-penumpangnya ke tempat tujuan dan
mengambil resiko. Itulah yang saya maksud dengan sikap mental seorang driver. Menjadi
sopir sendiri belum tentu memiliki kapasitas mental seorang driver. Banyak driver yang
bekerja mengeluh dan jenuh karena tak punya pilihan. Driver
mentality adalah sebuah kesadaran yang dibentuk oleh pengalaman dan
pendidikan. Bukan karena tidak punya pilihan.
Pendidikan yang saya maksud adalah proses belajar, yaitu bagaimana seseorang memperbaiki cara berpikirnya. Banyak orang yang kuliah dan menjadi sarjana, tetapi mereka tidak "belajar". Menghafal bukanlah berpikir, sedangkan belajar artinya adalah berpikir. Driver adalah orang yang berpikir. Sedangkan penumpang adalah orang yang tidak perlu berpikir sepanjang perjalanan. Driver memikirkan bagaimana mencapai tujuan tepat waktu, selamat dan perjalanan menyenangkan.
Pendidikan yang saya maksud adalah proses belajar, yaitu bagaimana seseorang memperbaiki cara berpikirnya. Banyak orang yang kuliah dan menjadi sarjana, tetapi mereka tidak "belajar". Menghafal bukanlah berpikir, sedangkan belajar artinya adalah berpikir. Driver adalah orang yang berpikir. Sedangkan penumpang adalah orang yang tidak perlu berpikir sepanjang perjalanan. Driver memikirkan bagaimana mencapai tujuan tepat waktu, selamat dan perjalanan menyenangkan.
Bagaimana Anda bisa berpikir kalau Anda tidak berani mengambil resiko? Saya
tidak pernah mendengar penumpang mobil ditangkap karena "mobilnya"
menabrak orang sampai tewas. Yang kita baca, sopirnyalah yang ditangkap.
Menjadi driver adalah mengekspos diri terhadap resiko. Tetapi
dari jutaan orang yang mengemudi, ternyata hanya kurang dari 0,1% yang ternyata
menabrak dan menimbulkan kecelakaan fatal. Dari 0,1% itu, yang terbesar
disebabkan oleh alkohol dan mengantuk.
Sopir yang menghafal punya kecenderungan mengikuti jalan yang sama setiap
hari. Itu sebabnya saya mengatakan menghafal bukanlah cara berpikir yang baik.
Sekali jalan dan dirasakan pas, sopir yang menghafal akan melewati jalan yang
sama. Lama-lama ia merasa nyaman dan takut mengambil jalan lain. Tetapi jalan
yang sama mengalami perubahan. Di jalan yang kita lewati kini dibangun sebuah
gedung SLTA, lalu disebelahnya ada gedung SMP. Beberapa meter dari situ ada
gedung-gedung perkantoran. Lalu sekitar 2 kilometer ada mal besar baru dan
seterusnya. Ketika jalan yang kita lewati berubah, pikiran manusia yang
menghafal tidak berubah. Hafalannya tetap sama.
Apa yang akan dilakukan sopir yang menghafal jalan yang sama? Sudah pasti
bersabar diri, mengumpat atau menyalahkan walikota atau gubernur. Tak ada orang
yang menyalahkan cara berpikirnya sendiri. Padahal siapa bilang tidak ada jalan
lain? Ke Roma saja pintu masuknya ada banyak. Di Indonesia ada jutaan jalan
tikus yang bisa Anda tembus dengan objek atau melintasi jalan-jalan kampung
yang sempit tapi bisa dilewati. Pilihannya ada banyak, tetapi memulainya tidak
mudah. Jalan-jalan baru itu memusingkan, banyak jalan buntu. Dan seorang yang
enggan mencobanya menyebut itu sebagai a dead end (jalan
mati). Padahal jalan buntu bagi seorangdriver adalah sebuah detour (perputaran).
Tidak enak memang. Tetapi lama-lama Anda akan merasakan manfaatnya.
Mengapa manusia terdidik tidak melakukan seperti itu?
Itulah "passenger" mentality. Kita telah
berubah menjadi bangsa yang nyaman. Kita takut kesasar seperti Columbus.
Padahal Columbus sendiri, saat ditertawakan rekan-rekannya yang sampai ke
Afrika Selatan dan India mengatakan begini: "Kalau tak pernah berani
kesasar, kalian tak akan pernah menemukan jalan baru."
Ketika manusia sudah takut melakukan "kesalahan" maka ia akan masuk kedalam perangkap mentalitas penumpang. Sekolah tak boleh mendidik anak-anaknya takut mengambil kesalahan dengan pendidikan hafalan. Sebab orang-orang yang tak pernah melakukan kesalahan sesungguhnya adalah orang yang tak berbuat apa-apa. He/she did nothing, has nothing and is nothing.
Ketika manusia sudah takut melakukan "kesalahan" maka ia akan masuk kedalam perangkap mentalitas penumpang. Sekolah tak boleh mendidik anak-anaknya takut mengambil kesalahan dengan pendidikan hafalan. Sebab orang-orang yang tak pernah melakukan kesalahan sesungguhnya adalah orang yang tak berbuat apa-apa. He/she did nothing, has nothing and is nothing.
Lantas bisakah orang-orang yang tak berpendidikan tinggi menjadi driver?
Tentu saja bisa. Hanya saja kapasitasnya terbatas. Seorang driver tidak cukup hanya bermodalkan tekad dan semangat. Cara berpikir yang tepat adalah modal penting. Tetapi driveryang hebat juga butuh referensi-referensi yang kuat. Kita perlu menghubungkan satu referensi dengan referensi yang lainnya. Dalam bahasa creative thinker (pemikir kreatif) ini disebut:connecting the dots. Jadi perbaiki dulu cara berpikir, perbaiki otak para sarjana dan otak anak-anak sedari balita. Dari situ kita baru bisa bicara tentang a driver nation. Rhenald Kasali
Tentu saja bisa. Hanya saja kapasitasnya terbatas. Seorang driver tidak cukup hanya bermodalkan tekad dan semangat. Cara berpikir yang tepat adalah modal penting. Tetapi driveryang hebat juga butuh referensi-referensi yang kuat. Kita perlu menghubungkan satu referensi dengan referensi yang lainnya. Dalam bahasa creative thinker (pemikir kreatif) ini disebut:connecting the dots. Jadi perbaiki dulu cara berpikir, perbaiki otak para sarjana dan otak anak-anak sedari balita. Dari situ kita baru bisa bicara tentang a driver nation. Rhenald Kasali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar