Perbincangan mengenai pengembangan mutu SDM kini
tengah disemarakkan dengan gagasan mengenai talent management. Esensi dasar
dari gagasan ini adalah bagiamana sebuah organisasi mesti mampu secara konstan
merekrut, mengembangkan, dan kemudian mempertahankan barisan SDM yang
bertalenta tinggi serta berkinerja unggul.
Barisan SDM dengan talenta unggul yang menduduki
strategic positions pada akhirnya memang merupakan life blood dari sebuah
organisasi bisnis. Disini kita mungkin perlu menyimak sebuah ungkapan dari
paman Bill Gates. Begini ia pernah berujar : silakan ambil 25 eksekutif kunci
dengan talenta unggul dari perusahaan kami, dan dalam waktu tak berapa lama
Microsoft akan langsung roboh.
Pertanyaanya kini adalah: lalu strategi terbaik
apa yang mesti dilakoni untuk mampu mengembangkan talent management secara
kokoh? Dalam kaitannya dengan hal ini, saya mencoba memetakan dua catatan
filosofis yang layak digenggam manakala kita hendak merajut strategi talent
management secara optimal.
Catatan yang pertama adalah ini : serangkaian studi
empirik menunjukkan bahwa kehebatan sebuah organisasi bisnis sangat ditentukan
oleh hanya 30 % karyawannya, terutama mereka yang menduduki posisi
strategic/core positions. Ilustrasinya sederhana : bagi sebuah warung makan,
posisi seorang koki adalah posisi yang amat vital; dan bukan kasir atau
pramusaji atau bagian purchasing. Demikian pula bagi Microsoft, posisi yang
amat penting adalah barisan programmer, bukan mereka yang duduk di bagian
finansial, warehouse, ataupun bagian customer service.
Implikasinya jelas : untuk mereka yang menduduki
posisi core, maka kita harus mati-matian mendapatkan talenta kelas dunia. Namun
bagi mereka yang tidak menduduki posisi core, kita cukup mendapatkan pekerja
yang standard saja, tidak perlu bagus-bagus amat. Alasannya sederhana : seorang
pramusaji dengan talenta kelas dunia tak akan memberikan impak yang signifikan
bagi kemajuan sebuah rumah makan. Demikian juga, seorang finance manager yang
super sekalipun tidak akan memberikan dampak yang berarti bagi maju mundurnya
Micorosft. Karena itulah, untuk posisi-posisi non-core ini kita cukup
memelihara karyawan yang memenuhi standard kualifikasi saja – tidak perlu
berambisi merekrut yang terbaik. Sebab efek diferensiasi dari posisi-posisi non
core terhadap level kinerja perusahaan tidak banyak.
Sebaliknya, untuk mereka yang menduduki posisi core
atau strategis, maka kita mesti bertarung mati-matian untuk mendapatkan talenta
super. Sebab dalam posisi ini, perbedaan kinerja antara level standar dengan
level superior akan memberikan dampak yang sangat signifikan bagi kemajuan
perusahaan. Seorang koki dengan kualifikasi standar mungkin akan membuat rumah
makan kita bisa terus eksis, namun kalau kita bisa merebut koki dengan kualifikasi
kelas dunia, pasti rumah makan kita akan kebanjiran pelanggan.
Fakta diatas membawa kita kepada catatan penting
kedua : perusahaan mesti mengalokasikan sumber daya waktu dan energi yang lebih
besar (mungkin hingga 80%) untuk mengelola dan memelihara mereka yang duduk
dalam posisi kunci (strategic positions); dan sisanya untuk mengelola para
non-core employees. Nah, disinilah suka muncul masalah. Sering dengan alasan
pemerataan, sebuah perusahaan memperlakukan semua karyawan dengan prioritas
yang sama : semua mendapatkan porsi pelatihan yang sama, besaran bonus yang
sama, dan kenaikan gaji yang sama.
Gaya manajemen a la sosialisme itu kelihatannya
indah, namun dalam jangka panjang tidak akan pernah mampu membawa kita menuju
kinerja puncak (gaya seperti ini mungkin lebih cocok untuk negeri Uni Soviet
pada tahun 70-an dulu). Sebaliknya, kita mesti mengalokasikan sumber daya yang
berbeda antara karyawan core dan non-core. Untuk karyawan non core kita cukup
mengalokasikan sumber daya pengembangan yang standard saja (ya, secukupnya
sajalah….). Namun untuk core employees yang bersifat strategis, kita mesti
mengalokasikan sumber daya habis-habisan untuk memelihara dan mengembangkan
talenta terbaik mereka.
Dengan pendekatan semacam itu, kita tidak perlu
lagi repot atau terlalu ambisius untuk mengembangkan semua karyawan (dan ini
sering membikin kita selalu kehabisan energi). Kita cukup memfokuskan energi
terbesar kita pada karyawan yang menduduki posisi kunci dan bersifat strategis
(dan acapkali jumlah karyawan golongan ini tidak lebih dari 30% jumlah total
karyawan). Talenta-talenta karyawan di golongan inilah yang mesti kita hajar
habis-habisan. Dengan pola ini, kita bisa lebih fokus, lebih bisa menghemat
energi, dan yang paling penting : bisa meraih hasil yang jauh lebih produktif.
Demikianlah, dua filosofi kunci yang mesti selalu
dikenang tatkala kita hendak membangun sebuah sistem talent management yang
unggul. Sebuah filosofi yang berangkat dari keyakinan bahwa : not everyone of
us is equal. Sorry, kedengarannya ini agak diskriminatif, but this is a fact of
life. Accept this, or you will be left behind the dust.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar