Kini di era MEA 2015 war for talent antar organisasi telah menjadi kenyataan di depan mata kita. Kebutuhan unit kerja, organisasi dan kepesatan peningkatan perusahaan tidak diiringi ketersediaan penawaran profesional yang sepadan. Hal ini mengakibatkan perang talenta memanas hingga ke level tertinggi. Persaingan perekrutan dan pembajakan talenta profesional bahkan menghadirkan praktik perang talenta di luar batas logika akal sehat. The demands for talent for exceeds supply. Manajemen talenta, tak pelak merupakan salah satu isu prioritas yang paling membuat pusing para eksekutif puncak dewasa ini

Minggu, 15 November 2015

Learning For One, Masa Depan Pembelajaran di Perusahaan

Peningkatan skill dan perkembangan ilmu pengetahuan dari seorang talent bukan saja harapan pribadi dari talent itu sendiri tetapi juga perusahaan yang merekrut mereka. Meskipun demikian, kesadaran akan “mendidik” karyawan rupanya masih belum cukup populer di banyak perusahaan.
Dari riset yang dikeluarkan Accenture baru-baru ini, didapatkan hasil bahwa sebesar 40% responden yang merupakan karyawan meningkatkan skill dan ilmu pengetahuannya melalui upaya mereka sendiri, bukan dari perusahaan.
Sedangkan 60% responden mendapatkan skill baru dari pengalaman mereka bekerja sehari-hari yang memang sudah menjadi kewajiban mereka. Jelas sekali bahwa upaya perusahaan dalam menyediakan wahana pembelajaran masih sangat kurang.
Bahkan Accenture menyatakan bahwa dulunya, learning hanya dikatakan sebagai common denominator atau sekedar ada dan tidak perlu disikapi dengan serius.


Kurangnya perhatian perusahaan terhadap proses belajar di perusahaan menjadikan mereka minim program-program belajar. Masih banyak perusahaan yang menerapkan sistem belajar “one type fits all” sehingga apapun bentuk angkatan kerjanya, perlakuan yang mereka berikan sama. Padahal, tidak bisa dipungkiri lagi bahwa angkatan kerja kita kini telah diisi oleh tiga generasi yang berbeda. Belum lagi tiap individu mempunyai ekspektasi yang berbeda-beda terkait tujuan dari program belajar yang mereka lakukan.
Dalam seminar Indonesia Digital and Social Learning (IDSL) yang digelar oleh PortalHR bekerja sama dengan Telkom Rabu (24/9) lalu, Yulia Yasmina, Managing Director Accenture mengungkapkan, “Kenapa kita tidak mengubah dari yang tadinya satu untuk semua “one size fits all” menjadi “learning for one” atau disesuaikan dengan keinginan tiap orang?”
Untuk dapat mewujudkan “learning for one” tersebut, ada beberapa langkah yang dapat dijadikan pedoman untuk memulainya, di antaranya:

1. Segmentasikan Angkatan Kerja di Perusahaan
Dari ratusan atau ribuan karyawan yang kita miliki di perusahaan, kita dapat mengelompokkannya berdasarkan data diri mereka. Data-data yang dapat digunakan sebagai acuan misalnya demografi,learning need, karir, jabatan, peran karyawan tersebut di perusahaan dan juga level kompetensinya. Setelah terpilih beberapa segmen atau kelompok belajar tugas perusahaan selanjutnya adalah menyiapkan program learning yang sesuai dengan kebutuhan tiap-tiap kelompok atau individu.
Accenture telah menjalankan sistem ini. Setiap karyawan mengikuti program belajar berdasarkan peran mereka di perusahaan. Dengan pola tersebut, maka sebelum belajar mereka diminta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti, “what do you do?” dan “what do you know?” untuk melihat dari mana mereka harus memulai belajarnya.
2. Tawarkan tipe modul yang diinginkan
Pada tahap ini, perusahaan perlu memberikan keleluasaan bagi para karyawan untuk memilih modul seperti apa yang akan dipakai oleh karyawan untuk belajar. Misalnya dengan memberi kebebasan bagi karyawan untuk mengakses informasi, apakah itu melalui online atau offline. Kemudian juga bisa belajar dari mana saja dan kapan saja, apakah mau belajar dalam waktu lama atau dicicil, semuanya bebas. Termasuk juga materi seperti apa yang diinginkan dan mereka sukai, itu semua dapat dikondisikan sesuai dengan kemauan dari pembelajar.
3. Berikan aturan main yang sederhana dan menyeluruh
Meskipun bebas, aturan harus tetap ada agar tujuan dari learning tersebut terpenuhi. Sebagai starter, aturan-aturan tersebut bisa berupa prioritas pada hasil bukan waktu belajar (result oriented), didefinisikan terlebih dahulu starting point-nya, kemudian menetapkan tujuan akhir dari proses learning tersebut, dan lalu materi yang diambil juga dapat mendukung kinerja mereka di perusahaan. Aturan tersebut pada intinya dibuat dengan tujuan untuk memberikan batasan terhadap jangkauan materi yang tengah dipelajari tetapi bisa diinterpretasikan dengan beragam cara oleh si pembelajar.
Salah satu contoh nyata implementasi aturan main ini adalah seperti yang dilakukan oleh satu perusahaan telekomunikasi di India. Ketika menyuruh karyawannya untuk belajar, mereka hanya membolehkan karyawan untuk mengambil satu leadership competency dan dua functional competency dalam kurun waktu setahun.
4. Tekankan pada employee-defined personalization

Pada tahap ini, setiap orang dimungkinkan untuk memiliki jalan setapaknya masing-masing dalam belajar. Oleh karenanya, perusahaan juga harus memberikan alternatif untuk menyesuaikan dengan kesukaan masing-masing. Beraneka ragam cara belajar dapat dicoba di perusahaan misalnya saja, peer to peer learning, experience-based learning, dengan metode gaming atau social learning. Intinya, setiap orang memiliki jalan setapaknya masing-masing untuk belajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar