Peningkatan skill dan perkembangan ilmu pengetahuan
dari seorang talent bukan saja harapan pribadi dari talent itu sendiri tetapi
juga perusahaan yang merekrut mereka. Meskipun demikian, kesadaran akan
“mendidik” karyawan rupanya masih belum cukup populer di banyak perusahaan.
Dari riset yang dikeluarkan Accenture baru-baru
ini, didapatkan hasil bahwa sebesar 40% responden yang merupakan karyawan
meningkatkan skill dan ilmu pengetahuannya melalui upaya mereka sendiri, bukan
dari perusahaan.
Sedangkan 60% responden mendapatkan skill baru dari
pengalaman mereka bekerja sehari-hari yang memang sudah menjadi kewajiban
mereka. Jelas sekali bahwa upaya perusahaan dalam menyediakan wahana
pembelajaran masih sangat kurang.
Bahkan Accenture menyatakan bahwa dulunya, learning
hanya dikatakan sebagai common denominator atau sekedar ada dan tidak perlu
disikapi dengan serius.
Kurangnya perhatian perusahaan terhadap proses
belajar di perusahaan menjadikan mereka minim program-program belajar. Masih
banyak perusahaan yang menerapkan sistem belajar “one type fits all” sehingga
apapun bentuk angkatan kerjanya, perlakuan yang mereka berikan sama. Padahal,
tidak bisa dipungkiri lagi bahwa angkatan kerja kita kini telah diisi oleh tiga
generasi yang berbeda. Belum lagi tiap individu mempunyai ekspektasi yang
berbeda-beda terkait tujuan dari program belajar yang mereka lakukan.
Dalam seminar Indonesia Digital and Social Learning
(IDSL) yang digelar oleh PortalHR bekerja sama dengan Telkom Rabu (24/9) lalu,
Yulia Yasmina, Managing Director Accenture mengungkapkan, “Kenapa kita tidak
mengubah dari yang tadinya satu untuk semua “one size fits all” menjadi
“learning for one” atau disesuaikan dengan keinginan tiap orang?”
Untuk dapat mewujudkan “learning for one” tersebut,
ada beberapa langkah yang dapat dijadikan pedoman untuk memulainya, di
antaranya:
1. Segmentasikan Angkatan Kerja di Perusahaan
Dari ratusan atau ribuan karyawan yang kita miliki
di perusahaan, kita dapat mengelompokkannya berdasarkan data diri mereka.
Data-data yang dapat digunakan sebagai acuan misalnya demografi,learning
need, karir, jabatan, peran karyawan tersebut di perusahaan dan juga level
kompetensinya. Setelah terpilih beberapa segmen atau kelompok belajar tugas
perusahaan selanjutnya adalah menyiapkan program learning yang
sesuai dengan kebutuhan tiap-tiap kelompok atau individu.
Accenture telah menjalankan sistem ini. Setiap
karyawan mengikuti program belajar berdasarkan peran mereka di perusahaan.
Dengan pola tersebut, maka sebelum belajar mereka diminta untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan seperti, “what do you do?” dan “what do you know?” untuk
melihat dari mana mereka harus memulai belajarnya.
2. Tawarkan tipe modul yang diinginkan
Pada tahap ini, perusahaan perlu memberikan
keleluasaan bagi para karyawan untuk memilih modul seperti apa yang akan dipakai
oleh karyawan untuk belajar. Misalnya dengan memberi kebebasan bagi karyawan
untuk mengakses informasi, apakah itu melalui online atau offline. Kemudian
juga bisa belajar dari mana saja dan kapan saja, apakah mau belajar dalam waktu
lama atau dicicil, semuanya bebas. Termasuk juga materi seperti apa yang
diinginkan dan mereka sukai, itu semua dapat dikondisikan sesuai dengan kemauan
dari pembelajar.
3. Berikan aturan main yang sederhana dan
menyeluruh
Meskipun bebas, aturan harus tetap ada agar tujuan
dari learning tersebut terpenuhi. Sebagai starter, aturan-aturan tersebut bisa
berupa prioritas pada hasil bukan waktu belajar (result oriented),
didefinisikan terlebih dahulu starting point-nya, kemudian
menetapkan tujuan akhir dari proses learning tersebut, dan lalu materi yang
diambil juga dapat mendukung kinerja mereka di perusahaan. Aturan tersebut pada
intinya dibuat dengan tujuan untuk memberikan batasan terhadap jangkauan materi
yang tengah dipelajari tetapi bisa diinterpretasikan dengan beragam cara oleh
si pembelajar.
Salah satu contoh nyata implementasi aturan main
ini adalah seperti yang dilakukan oleh satu perusahaan telekomunikasi di India.
Ketika menyuruh karyawannya untuk belajar, mereka hanya membolehkan karyawan
untuk mengambil satu leadership competency dan dua functional
competency dalam kurun waktu setahun.
4. Tekankan pada employee-defined
personalization
Pada tahap ini, setiap orang dimungkinkan untuk
memiliki jalan setapaknya masing-masing dalam belajar. Oleh karenanya,
perusahaan juga harus memberikan alternatif untuk menyesuaikan dengan kesukaan
masing-masing. Beraneka ragam cara belajar dapat dicoba di perusahaan misalnya
saja, peer to peer learning, experience-based learning, dengan metode gaming
atau social learning. Intinya, setiap orang memiliki jalan setapaknya
masing-masing untuk belajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar